Sunday 16 October 2011


Nasib Orang-orang Cerdas
(Menuju Puncak Tanpa SMS)

Oleh: Rum Astuti, S.Pd


…..Ide yang berawal dari rasa penasaran terhadap petuah nenek, bisa menghantarkan Ika Rachmatina menjadi remaja yang berprestasi. Coba seandainya apa yang dikatakan neneknya dia acuhkan begitu saja…..

Di sela-sela memberikan materi pelajaran di kelas, saya coba melakukan survey kecil-kecilan. Saya Tanya, ”Coba siapa di antara Anda yang kenal Alvitha Fransiska?” Tidak ada yang menunjuk dan menjawab. Kembali saya sodorkan nama Kartika Fandika. Juga tak satu siswa pun kenal dia. Kalau nama Veri, Mawar, Nicky, Jovitha, Sutha, atau Yuke kenal nggak? Hampir serentak mereka membuat gaduh ruang kelas, dengan jawaban: Itu kan bintang AFI, Bu!, kenal dong.
Meneruskan survey sama keponakan sendiri dengan mengirim sandek (pesan pendek, menyederhanakan istilah SMS) kepadanya. ”Coy, kamu pernah dengar nama Alvitha Fransiska?” Setelah menunggu, Hp saya bertitit-titit juga, sandek balasan muncul: Nggak lho Tante, siapa sih dia?”
Saya kirim lagi sandek dengan mengajukan nama Kartika Fandika. Juga jawabannya sama. ABG siswa kelas II sebuah SMA di Lampung Timur, ini mengaku asing dengan nama itu. Ketika saya tanyakan nama Micky dan Jovitha! Hanya sebentar sudah datang sandek balasan: ”Micky itu anak Riau yang audisi di Jakarta dan dia lolos mewakili Jakarta di AFI 2. Jovitha anak Yogya yang tereliminasi pertama.” Celakanya, semula maksud hati sekedar ingin tahu apresiasi keponakan terhadap nama yang saya tanyakan, eh kesempatan bagi dia untuk ”menodong” dengan minta disumbang pulsa 50 ribu, katanya mau kirim sandek dukungan untuk Leo si anak ganteng dari Makassar finalis AFI 3.
Sialan banget nih anak, pikir saya. Sekolah di Lampung Timur sana, tapi gayanya tak mau ketinggalan dengan anak kota. Memang, budaya sandek (SMS Culture) sudah mewabah di mana-mana. Pantas saja setiap tayangan televisi selalu diakhiri kuis SMS. Sinetron, Musik, Olahraga, pasti didomplengi kuis SMS. Kebangetan. Ini kategori pengerukan uang rakyat juga, sudah ada unsur judinya. Dengan mengijonkan pulsa beberapa ratus rupiah, berharap dapat hadiah uang tunai (voucher pengganti pulsa) senilai satu juta rupiah. Bahkan bisa jadi berupa rumah mewah, mobil bagus dan sebagainya. Sehingga membuat orang ketagihan untuk bermain untung-untungan. Tapi anehnya tidak ada reaksi dari pihak berwenang, atau mungkin pihak berwenang ini sudah ketiban fulus dari bisnis acara apapun yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi di negeri ini.
Baik, kita lupakan saja masalah kuis, karena ini bukan bahasan utama tulisan ini. Masalahnya adalah sejauh mana orang-orang cerdas mendapat tempat di hati kaumnya. Alvitha Fransiska dan Kartika Fandika yang saya tanyakan tadi adalah pemenang pertama pada lomba penelitian dan pengembangan teknologi terapan Provinsi Lampung tahun 2004 yang dilaksanakan dalam rangka ”Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-IX.” Keduanya pelajar SMA Al-Kautsar Bandarlampung, dengan karya tulis yang berjudul ”Pembuatan Manisan Tomat Sebagai Usaha Alternatif (Teknologi Pembuatan Manisan Tomat).
Pemenang kedua, ”Pemanfaatan Biji Buah Tanaman Karet Sebagai Bahan Baku Tempe (Teknologi Pengolahan Biji Karet Menjadi Bahan Baku Tempe)” oleh Budi Mulyanto, Dipa Alam Vegantara, dan Roma Sonya Saragih dari SMA Negeri 10 Bandarlampung. Pemenang ketiga, Alpha Akbar dari SMA Negeri 2 Bandarlampung dengan karya tulis berjudul ”Pengembangan Proses Pengolahan Nugget Ikan Lele (Teknologi Pengolahan Nugget Ikan Lele).” Dan, pemenang kategori penghargaan khusus adalah karya yang berjudul ”Pemanfaatan Limbah Cair Tapioka Menjadi Bahan Baku Gas dan Pupuk Alami” oleh Edi Susila dari SMA Negeri 10 Bandarlampung.
Mereka itulah orang cerdas dari Bandarlampung. Dari kota besar lainnya yang sukses mengharumkan nama Nusa dan Bangsa di tingkat dunia di antaranya Yudistira Virgus, anak Palembang alumni SMA Xaverius 1, mampu mencapai tangga juara tanpa bantuan SMS dari teman-temannya atau ABG dari manapun di seantero bumi Indonesia. Yudis mengandalkan otaknya untuk melaju dan meraih medali emas dalam kontes ilmiah paling bergengsi: Olimpiade Fisika 2004. Tidak tanggung-tanggung dia berhasil menyingkirkan 332 pelajar cerdas dari 73 negara, termasuk Amerika Serikat!
Alunan Gending Sriwijaya bertalu dengan riuh suara teman-temannya satu sekolah mengelu-elukannya tatkala menjejakkan kaki di halaman sekolah.
”Suatu saat saya ingin meraih penghargaan Nobel,” begitu tekad remaja jangkung yang mendapat kesempatan untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Berhubung sudah terdaftar di kampus Ganesha, dia ”terpaksa” menolak tawaran untuk kuliah di MIT (Massachusetts Institut of Technology) Amerika Serikat. Tekadnya tersebut merupakan siratan bahwa dia tidak serta-merta berpuas diri dengan prestasi yang telah diraihnya. Bisa jadi keinginannya itu adalah sebuah mimpi besar. Tapi bukankah segalanya dimulai dari mimpi. Dan, dengan menjadi pemenang Olimpiade Fisika yang berlangsung di Pohan, Korea Selatan, pertengahan Juli lalu, ia telah membuktikan bahwa modalnya bukan cuma tekad, Yudistira punya sesuatu untuk mewujudkan mimpinya.
Jejak gemilang di Pohan itu ditorehkan Yudis bersama empat rekannya yang tergabung dalam Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Edbert Jarvis Sie (SMA Kristen 1 BPK Penabur Jakarta) meraih perak, Andika Putra (SMA Sutomo 1 Medan) dan Ardiansyah (SMA Plus Pekanbaru) meraih perunggu, dan Ali Sucipto (SMA Xaverius 1 Palembang) meriah honorable mention (penghargaan khusus setingkat di bawah perunggu). Dari hasil yang dicapai ini, tim Indonesia berhasil memosisikan diri di urutan kelima dari 73 negara peserta.
Satu lagi remaja berprestasi. Ika Rachmatina, gadis sederhana dari desa Kanep, Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, siswa kelas II SMA Negeri 1 Sumberrejo, Bojonegoro, ini pada tanggal 3-9 Agustus 2004 lalu mewakili Indonesia dalam APEC Youth Science Festival di Beijing. Dia mempresentasikan karya ilmiahnya yang berjudul ”Pengaruh Pemberian Biji Jarak Ricinus Communis L. terhadap Masa Kehamilan dan Jumlah Anak Mencit.” Karya tulisnya ini berturut-turut menang dari tingkat Kabupaten hingga Asia Tenggara, yaitu juara 1 (The best Scientific Creativity) di Penang, Malaysia. Yang menarik, idenya berawal dari peringatan neneknya. Saat itu Ika masih duduk di kelas II SMP dan pernah sekali makan biji jarak kemudian diingatkan sang nenek bahwa biji jarak bisa menyebabkan mandul. Tertarik untuk menguji kebenaran apa yang dikatakan neneknya, maka mulailah dia meneliti dengan modus memberikan biji jarak kepada tikus putih, walaupun pada awalnya dia jijik terhadap tikus tersebut tapi bisa hilang oleh rasa ingin tahunya yang begitu besar.
Uniknya, karena risetnya berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran, otomatis Ika harus paham konsep DNA dan RNA yang tentunya mesti dipelajari dalam kitab-kitab tebal yang jadi buku wajib mahasiswa kedokteran.
”Pada saat penguji menanyakan dari mana saya tahu tentang DNA dan RNA, sementara saya masih kelas III SMP, saya jawab aja tahu sedikit-sedikit. Kalau saya katakana dari baca buku kedokteran, mereka pasti akan tanya macam-macam,” tutur anak keempat dari lima bersaudara kelahiran 19 Mei 1988 ini.

Minimnya Kepedulian
Agak bergidik juga bulu kuduk bila menyimak nasib orang cerdas berikut. Adalah Ni Komang Darmiastini, peraih medali perunggu Olimpiade Biologi Internasional di Brisbane, Australia, 11-18 Juli lalu. Sebelum berangkat berlaga di negeri Kanguru tersebut, pihak sekolahnya, SMA Negeri 1 Singaraja, melayangkan proposal mohon bantuan ke DPRD Buleleng. Permohonan itu tidak mendapat tanggapan positif. Tidak ada disposisi bantuan, yang ada hanya sebatas memaklumi tentang rencana keberangkatan tersebut. Tragisnya para anggota DPRD Buleleng itu berpoya-poya menghabiskan uang rakyat untuk jalan-jalan ke India. Untungnya, pihak Pemda Buleleng masih bisa menyisihkan anggaran dengan membantu Rp3 juta. Dan dana yang digelontorkan Pemda ini ternyata tidak sia-sia, sebab Komang bersama dua rekannya, Budi Christanto dan Mulyono (keduanya siswa kelas III SMA Negeri 2 Pare, Kediri), tidak pulang dengan tangan kosong. Tiga medali perunggu yang diperoleh membuktikan kemampuan otak mereka. Ditambah satu penghargaan honorable mention yang diperoleh Ihsan Tria Pramanda siswa SMA Negeri 1 Padang, Sumatera Barat.
Akan halnya Mulyono. Ibundanya, Mujiati, sehari-hari bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh tani. Karena keterbatasan itulah, sementara ibunya jadi pembantu rumah tangga di Surabaya, sejak usia 2 tahun Mulyono harus tinggal dengan neneknya, Kardinem, di sebuah rumah berdinding bambu tanpa listrik. Untuk penerangan belajar, Mulyono memanfaatkan lampu teplok yang terbuat dari kaleng bekas.
Setiap hari Mulyono menempuh jarak 25 Km dari rumah ke sekolahnya. Sebelum mencapai jalan raya, dia harus mengayuh sepeda pancal (dayung) sejauh 6 Km dari rumah. Kemudian naik angkudes (angkutan perdesaan) dengan ongkos Rp2.500,- Mujiati mencurahkan segenap perhatian agar putranya terus sekolah, dia sampai tidak sempat mengurusi rumahnya yang hampir ambruk.
Pengalaman internasional Mulyono sebenarnya bukan hanya di Brisbane. Pada tahun 2003, dia mengikuti kejuaraan serupa di Belarus. Namun, saat itu dia belum mujur mempersembahkan medali bagi bangsa. Sepulang dari Belarus, Mulyono mengikuti pembinaan di Bandung menjelang dikirim ke Australia. Uang saku yang diterimanya selama pembinaan disimpannya, kemudian sepulang dari Bandung uang itu diserahkannya kepada ibunya untuk memasang listrik. Sehingga cahaya listrik yang kini menerangi rumahnya murni dari swadaya Mulyono, yang kala itu dia baru kelas II SMA.

…..menjadi orang cerdas di Indonesia ternyata kalah populer
dibanding dengan orang ganteng dan cantik.
Dari segi apresiasi sampai penghargaan.
Fenomena apa ini…..

Keberhasilan Mulyono menjejakkan kaki di Belarus, membuat Bupati Kediri, Sutrisno, memerintahkan anak buahnya memperbaiki rumah Mulyono yang nyaris ambruk. Sehingga apabila turun hujan, Mulyono sibuk mengamankan buku-bukunya dengan memasukkannya ke dalam kantong-kantong plastik agar tidak basah. Karena di berbagai sudut rumahnya pada bocor.
Kini setelah diperbaiki, kebiasaan Mulyono di kala hujan itu jadi hilang. Selain itu, Bupati juga meminta Mujiati menjadi pembantu rumah tangga di kediaman Bupati. Dengan demikian Mujiati bisa sewaktu-waktu mengontrol putranya tersebut.
Nasib baik yang dialami Mulyono, memang sedikit membuat hati kita terhibur. Dan tidak itu saja. Mulyono juga mendapat tawaran untuk meneruskan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung lewat jalur khusus. Mulyono pun tidak menyia-nyiakan Kesempatan ini meski hanya mengandalkan keenceran otaknya yang dibangun dari keprihatinan dan keterbatasan ekonomi yang menghimpit keluarganya.
Nasib mujur juga dialami Septinus George Saa. Siswa SMA Negeri 3 Buper, Jayapura, ini mewakili Indonesia di ajang lomba “First Step to Nobel Prize in Physic” yang berlangsung di Polandia 30 Maret 2004. Dia membuktikan bagaimana cara dia menghitung resistansi di antara dua titik dalam sebuah rangkaian hexagon (enam) dengan metoda tersendiri yang ditemukannya.
Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya yang berjudul “Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Network of Identifical Resistor” itu berhasil mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri.
Atas prestasinya ini, dia mendapat anugerah “Ahmad Bakri Award” dari kelompok usaha Bakrie Brothers Group, yaitu bea siswa berupa jaminan biaya pendidikan hingga dia menyelesaikan program doktor (PhD) di perguruan tinggi mana pun yang dia pilih (baik di dalam negeri maupun di luar negeri).
Menjadi orang cerdas di Indonesia ternyata tidak bisa populer. Sebut saja Prof Dr Azhar Djaloeis, sejak 1975 karena jabatannya sebagai guru besar di Universitas Bonn, Jerman, dengan mengajar Fisika Nuklir, Mekanika Quantum, dan Fisika Modern. Di samping itu di juga menjadi peneliti senior di lembaga penelitian nuklir KFA (Nuclear Research Center) Juelich, Jerman, sehingga tenaganya begitu dibutuhkan di sana membuat kontraknya diperpanjang terus menerus hingga mendapatkan Aufenthaltsberechtigung (hak tinggal tetap).
Namun, pada suatu malam pertengahan Juli 1983, saat itu dia jadi profesor tamu di National University of Singapore, dia ditelepon dan dipesani agar menemui Menteri Riset dan Teknologi Baharuddin Jusuf Habibie. Ujung-ujungnya Habibie memintanya kembali ke tanah air guna menjadi staf ahli menteri di bidang nuklir.
Dengan dalih anak-anaknya masih kecil, Djaloeis mengabaikan permintaan itu. Ketika pada tahun 1984, kembali Habibie menelepon meminta dia kembali ke Indonesia. “Now or Never,” kata Habibie saat itu. Begitu pulang, betapa kecewanya dia, lantaran penghargaan yang didapatnya begitu jauh bila dibandingkan dengan apa yang didapatnya sewaktu di Jerman.   

Beruntung Indonesia punya orang cerdas seperti Profesor Yohanes Surya, yang deangan kesadarannya sendiri pulang ke tanah air, setelah menemui kenyataan betapa banyak “bibit” orang cerdas di Indonesia. Hal ini disadarinya setelah menyaksikan sendiri potensi Tim Olimpiade Fisika (TOFI) kala pertama kalinya ikut berlaga di Amerika Serikat pada 1993 dengan menyabet medali perunggu. Pada tahun 1994, Yohanes Surya, yang kala itu masih bekerja sebagai ahli fisika teoretis di salah satu laboratorium nasional di Amerika, punya pikiran kalau Tim Indonesia ingin meraih kemenangan tentunya harus ada yang membimbing dan melatihnya secara intensif dan serius. Akhirnya pada bulan November 1994 Yohanes memutuskan pulang ke Indonesia untuk mendedikasikan dirinya menangani tim secara penuh.
Berkat asahan Profesor Yohanes Surya (yang kini menjabat CEO di The Mochtar Riyadi Center for Nanotechnology & Bioengineering, di samping mengajar di Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang). Indonesia punya anak-anak cerdas yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di tengah keterpurukan ekonomi dan karut-marut sistem sosial, politik, dan tatanan hukumnya.
Politikus yang cerdas seperti Amien Rais dan Siswono Yudohusodo, ternyata kalah telak dalam pemilihan calon presiden (Capres/Cawapres) putaran pertama (5 April 2004). Mungkin karena strategi yang dipakainya tidak tepat. Mereka berdua memopulerkan diri sebagai orang cerdas sehingga di poster, stiker, dan spanduk kampanyenya ditulis slogan: Cerdas, Jujur, dan Adil. Sebelum pemilihan presiden dilangsungkan, para kandidat presiden/wakil presiden bergantian tampil dalam acara debat. Berhubung acara ini tidak didomplengi kuis SMS, maka acara ini tidak menarik untuk ditonton.
Tapi, manakala Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampil dalam acara konser AFI 2, keduanya didaulat oleh Adi Nugroho (host) untuk menyanyikan lagu favoritnya masing-masing dan diakhiri dengan komentar (oleh para komentator). Sambutan pengunjung Teater Tanah Air Taman Mini Indonesia Indah pun berbeda-beda, histeria penonton lebih gemuruh tatkala SBY menyanyikan lagu Jamrud yang berjudul ‘Pelangi di Matamu’ karena lagu ini pas dengan selera anak muda.
Sementara Wiranto menyanyikan lagu ‘Indonesia Tanah Air Permai’ tidak mendapat respon sama sekali, bahkan penonton tampak bengong aja karena lagu tersebut asing bagi telinga mereka.
Aneh memang fenomena yang terjadi saat ini, orang ganteng atau cantik pemenang kontes bintang dapat publikasi besar-besaran, atlet yang meraih medali emas dapat sambutan begitu meriah sejak kedatangan di bandara, lalu diarak pawai sampai ke Balaikota bahkan ke Istana dan ditaburi berbagai hadiah: rumah, tanah, mobil, deposito, diangkat jadi pegawai negeri, dan sebagainya.
Siapa yang menyambut anak-anak cerdas tersebut di awal tulisan ini? Tidak ada. Kalaupun ada ya hanya seadanya.

Keajaiban SMS
Tereliminasinya Yuke Elvandari (mahasiswi Unila) dari panggung AFI 3 mendapat porsi pemberitaan begitu gegap gempita di media yang terbit di Lampung, begitu juga pembicaraan tentangnya dari orang-orang yang terperangah begitu mendengar Adi Nugroho membacakan namanya yang harus pulang pada waktu konser Sabtu malam 14 Agustus 2004 lalu. Begitu bengongnya para pengunjung yang membeludaki acara ‘nonton bareng’ di Alfa Supermarket, kafe “Waroeng Diggers”, dan pelataran lapangan Enggal, Saburai. Seakan tak percaya tapi nyata, sehingga sampai ada yang berlinang air mata. Karena apa? Bisa jadi karena inilah saatnya masyarakat lampung akan kembali memiliki kebanggan terhadap putra daerahnya setelah tampilnya Sjachroeddin ZP menjadi gubernur yang dilantik awal Juni lalu. Sayang, kebanggaan yang sebenarnya bisa diraih dari tengah panggung konser finalis AFI 3 segera menyisihkan Yuke.
Hal-hal yang tidak menguntungkan Yuke pada malam konser itu, agaknya bisa jadi, pertama, karena lagu yang mesti dia nyanyikan (lagu ‘Bendera’ yang dipopulerkan Coklat) kurang mendukung performance karakter vokalnya yang lumayan. Kedua, karena pada malam itu konser dimulai pukul 19.00 WIB lebih awal dari jadwal biasanya, dan bertepatan pula dengan pembukaan acara pameran pembangunan Pemda Lampung di PKOR Way Halim, konon perhelatan Pemda ini mampu menyedot ribuan pengunjung dari seluruh penjuru lampung (dalam kota maupun luar kota Bandarlampung). Ketiga, karena pundi-pundi SMS dukungan untuknya, memosisikan Yuke di urutan keempat dari atas (posisi aman), sehingga para penonton di rumah dan yang membeludaki tiga tempat acara ‘nonton bareng’ merasa eman-eman (atau mungkin memang pelit karena tidak ada sense of belonging) mengumbar pulsanya untuk mengirim SMS atau premium call dukungan tambahan buat Yuke.
Di sinilah terlihat betapa ajaibnya SMS. Dulu, untuk mengungkapkan sesuatu orang sering mengatakan say it with flower, nah di era digital ini apapun perasaan orang akan diekspresikan lewat pesan pendek di layar ponsel yang ada di genggaman mereka. Mereka akan bilang say it with SMS atau yang tercanggih say it wiyh MMS.
Apa yang terjadi dengan Yuke dan finalis AFI lainnya, menegaskan betapa dukungan adalah hal yang begitu menentukan nasib mereka. Betapapun deras aliran SMS dukungan untuk Yuke, kalau dukungan bagi finalis lainnya lebih deras lagi, maka yang tadinya di atas bisa terpental sedang yang tadinya sudah harap-harap cemas (H2C) dan deg-degan karena hampir tereliminasi, ternyata aman-aman saja bahkan bergeser posisi ke tengah atau ke atas puncak. Karena kontes ini adalah kontes (banyak-banyakan) dukungan bukan kontes bintang sejati.
Sementara tampilnya Alvitha, Kartika, Budi, Dipa, Sonya, Akbar, Edi, dan anak-anak cerdas lainnya (yang telah Menuju Puncak Tanpa SMS) sebagaimana diuraikan di atas tidak begitu terdengar gaung pemberitaan dan kebanggaan terhadap prestasi yang mereka peroleh. Apakah karena perbedaan aroma keduanya. Orang-orang cerdas hanya menyemerbakkan aroma bahan kimia, sementara bintang AFI menyemerbakkan aroma bunga nila (lavender), membuat kita lebih suka aroma bunga, membuat kita lebih bangga menghargai. Mengapa demikian?

Tahun 2004 ini provinsi Lampung kembali mengirim duta ke ajang Olimpiade Sains tingkat nasional di Pekanbaru, Riau, yakni 4 orang siswa Sekolah Dasar (SD) mengikuti kejuaraan bidang Matematika dan IPA. Mereka adalah Dedi Heryanto dari Lampung Utara (juara I matematika), Nanda Lucky Prasetya dari Lampung Selatan (juara II matematika), Irfan Haris Setyaningrum dari Tulangbawang (juara II IPA).
Tahun lalu Dedy Heryanto juga pernah mengikuti Olimpiade serupa, walaupun tidak meraih predikat juara namun mampu memosisikan diri pada peringkat ke-27 dari 64 peserta. Karena keberhasilannya meraih juara I tingkat provinsi Lampung, maka putra petani singkong, Seman dan Paniyem, ini kembali dikirim mewakili Lampung.
Di samping keempat siswa SD tersebut, dikirim pula 4 Siswa SMP dan SMA dan kebetulan keempatnya berasal dari Kota Metro, jadi keempatnya sekaligus mempertaruhkan nama baik Kota Metro dan Provinsi Lampung. Keempatnya, M. Albadar (SMPN 1), Agus Wijaya (SMP Xaverius), Sarah Elisa (SMAN 2), dan Marnil (SMK Kristen) akan mengikuti Olimpiade Sains bidang Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, dan Komputer. Sudah saatnya kita tidak saja hanya memperhatikan, tapi sebaliknya memberikan reward kepada anak-anak cerdas ini. Semoga.

…..Keajaiban SMS bisa membuat sesuatu yang tak masuk 
akal jadi nyata. Betapa di masa gonjang-ganjing menjelang 
pemilu legislatif dulu Hidayat Nurwahid
merajai polling SMS sebagai ’presiden’ yang 
didambakan rakyat Indonesia. Nyatanya…..

*) Penulis mengajar di SMP Negeri 28 Bandarlampung.


Terpublikasi pada halaman GAGAS, LAMPUNG EKSPRES plus
Rabu, 25 Agustus 2004 dan Kamis, 26 Agustus 2004