Wednesday 28 March 2012

Sekolah Boleh Terima Bantuan

Dinas Pendidikan Kota Bontang memperbolehkan sekolah menerima bantuan dari masyarakat namun dilarang memungut biaya operasional, karena telah diatur dalam Peraturan Menteri pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2011.
"Jadi pungutan jelas dilarang karena sudah ada aturan Permendikbud No.60/2011 tentang larangan pungutan biaya pendidikan untuk SD dan SMP, tetapi boleh mendapatkan bantuan baik sekolah negeri atau swasta. Karena bantuan tidak hanya untuk panti asuhan, tempat ibadah saja, sekolah juga bisa dibantu dan itu termasuk ibadah," kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Bontang, Dasuki, di Bontang.
Ia mengatakan, pungutan dilarang karena saat ini berbagai gelontoran dana telah masuk ke sekolah, seperti Biaya Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Khusus Murid, Bantuan Siswa Miskin, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN OTA), dan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan.
"Pemerintah pusat pun sebagai konsekuensi melarang pungutan sekolah, saat ini telah menaikkan alokasi BOS (bantuan operasional sekolah) lebih dua kali lipat," kata Dasuki.
Ketika disinggung sekolah swasta yang masih menarik dana dari siswa, kepala dinas termuda di Kota Bontang itu menjelaskan bahwa untuk biaya investasi bisa meminta masyarakat, tetapi untuk biaya operasional sekolah swasta murni dari pemerintah.
Bantuan pun, katanya, harusnya disisir dulu dan itu pun bagi yang mampu dan mau. Sekolah swasta, ujarnya, merupakan mitra pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan.
Bontang saat ini telah memiliki sembilan SMP, sedangkan komposisi SMU dan SMK pada posisi 53 persen dan 47 persen.
"Komposisi yang diharapkan SMA dibanding SMK adalah 30:70 persen. Untuk itu, melalui Dirjen, Bontang mendapat alokasi program pembangunan satu unit SMA/SMK, dan saya tetapkan untuk pembangunan SMK," ujar Dasuki.
Lokasi SMK dirasakan cocok untuk wilayah Berbas Tengah yang nantinya merupakan SMK unggulan.  Alternatif lainnya di Bontang Lestari berdekatan dengan "boarding school".
Dalam menunjang kompetensi lulusan SMA, maka Bontang akan membuka pendidikan akademi komunitas setara D1 dan D2 sehingga bagi yang kurang mampu tidak perlu ke luar daerah.
"Ada tiga program studi yakni kimia analis untuk menunjang kluster industri gas dan kondensat, teknologi hasil penangkapan menunjang sektor perikan, alat berat dalam menunjang sektor pertambangan," ujar Dasuki.
(Antara | Rabu, 14-03-2012 | 06:43:34)

Pendidikan Berhasil Jika Hasilkan Lulusan Berkarakter

Pendidikan dinilai berhasil jika mampu menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kata Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
"Jadi, pendidikan dapat dikatakan berhasil tidak hanya ditentukan oleh lulusan yang sekadar cerdas dan terampil dalam kemajuan ilmu dan teknologi, tetapi juga berkarakter," katanya dalam sambutan yang dibacakan Pelaksana tugas Asisten Pemerintahan dan Kesra Pemprov DIY Astungkoro di Yogyakarta.
Menurut dia saat menerima kunjungan kerja Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD), untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dalam kerangka reformasi, maka yang terpenting adalah adanya standar pelayanan minimal oleh penyelenggara pendidikan itu sendiri, selain memerlukan kreativitas dan kesungguhan pelaku pendidikan.
"Meskipun pemerintah telah menggulirkan semangat otonomi dan demokratisasi pendidikan, masih ada pelaku pendidikan yang belum tanggap," katanya.
Ia mengatakan kondisi itu menunjukkan belum adanya sinkronisasi dengan semangat reformasi dalam bidang pendidikan. Misalnya, dalam pengayaan materi kurikulum, dengan adanya kebebasan dan otonomi, maka terbuka lebar bagi pelaku pendidikan untuk membuat kebijakan yang berbasis kebutuhan lokal.
Pimpinan rombongan Komite III DPD Muhammad Syibli Sahabudin mengatakan, dalam rangka mempersiapkan penyusunan hasil pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Menurut dia, ada tiga hal yang menjadi sasaran kunjungan kerja Komite III DPD ke Pemprov DIY. Pertama, berkaitan dengan persoalan pengawasan atas pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Hal itu berkenaan dengan persiapan pelaksanaan Ujian Nasional tahun ajaran 2012 dan proses sertifikasi guru baik pendidikan dasar maupun pendidikan agama.
Kedua, berkaitan dengan pengawasan atas pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan yang ketiga berkaitan dengan persoalan-persoalan atau isu-isu aktual yang saat ini berkembang di Yogyakarta.
Ia mengatakan DPD sejak awal tetap mendorong agar Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY segera diundangkan oleh DPR bersama pemerintah. Semangat awalnya adalah DPD bisa menjadi penyeimbang antara DPR dan pemerintah.
"Sayangnya sistem ketatanegaraan kita itu dilaksanakan setengah hati, sehingga DPD sebagai wakil-wakil daerah yang tadinya bisa diharapkan sebagai penyeimbang antara posisi DPR dan pemerintah, tetapi karena yang ingin menjadi penyeimbang tidak seimbang dengan yang diimbangi, maka beginilah keadaannya," katanya.
(Antara | Selasa, 27-03-2012 | 22:23:02)

Enam Provinsi Bahas Rencana Aksi Pendidikan Inklusif

Enam provinsi terdiri atas  DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Aceh, dan Sulawesi Selatan akan terlibat dalam pembahasan rencana aksi pendidikan inklusif yang akan diterapkan secara nasional.
Pembahasan rencana aksi pendidikan inklusif tersebut digelar dalam bentuk lokakarya di Yogyakarta pada Rabu (14/3) dan telah dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Suyanto di Yogyakarta.
"Ada banyak tantangan dalam menjalankan pendidikan inklusif, meskipun perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan semakin baik," kata Suyanto usai membuka lokakarya tersebut.
Ia mengatakan, jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) usia sekolah yang telah mengikuti pendidikan di sekolah inklusi, khususnya SD dan SMP, sudah semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Orang tua, lanjut dia, sudah mulai memiliki kesadaran tentang arti pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus.
"Namun, orang tua dari anak-anak yang normal juga perlu terus diberi pengertian dan sosialisasi tentang pendidikan inklusi ini. Biasanya, mereka tidak ingin anaknya belajar bersama dengan anak berkebutuhan khusus," katanya.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah sekolah inklusi di seluruh Indonesia mencapai 1.200 sekolah, dengan rata-rata jumlah siswa berkebutuhan khusus adalah lima orang per sekolah.
Ia berharap, jumlah sekolah inklusi tersebut dapat terus dipertahankan untuk tahun mendatang atau ada penambahan dari jumlah siswa berkebutuhan khusus yang mengenyam pendidikan formal di sekolah inklusi.
"Karena, tidak semua anak berkebutuhan khusus bisa masuk sekolah inklusi. Hanya cacat ringan yang bisa masuk inklusi seperti tuna rungu, tuna netra atau tuna daksa," katanya.
Sementara itu, untuk lebih meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB), maka mulai tahun anggaran 2012, telah dialokasikan dana sebesar Rp50 juta untuk biaya penyelenggaraan sekolah.
"Biaya penyelenggaraan SLB lebih mahal dibanding sekolah reguler, karenanya ada biaya operasional yang diberikan pemerintah," katanya.
Di Indonesia tercatat sebanyak 1.800 SLB dengan tidak kurang mendidik 75.000 siswa.
Sedangkan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Baskara Aji mengatakan, di DIY sudah ada 83 persen anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang mendapatkan pendidikan formal baik di SLB ataupun di sekolah inklusi.
"Masih ada 17 persen yang belum mengikuti pendidikan formal. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan inklusi sudah meningkat sekitar 30 persen," kata Baskara.
Ia mengatakan, telah bekerja sama dengan Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) untuk memberikan pendidikan keterampilan bagi anak berkebutuhan khusus tersebut, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kemandirian anak selepas dari pendidikan formal.
"Harapannya mereka mampu mandiri, baik membuka lapangan kerja sendiri atau bekerja di perusahaan," lanjutnya.
Lokakarya pendidikan inklusif tersebut juga didukung oleh lembaga Helen Keller Indonesia (HKI) dan USAID. HKI telah melakukan penelitian di sejumlah daerah tentang pendidikan inklusi.
Hasil dari penelitian tersebut adalah kegiatan belajar mengajar masih belum dilakukan secara khusus, misalnya tidak ada tambahan penggunaan sarana bagi anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, pengajar masih menekankan pada pencapaian kurikulum dan bukan karakteristik anak, serta penilaian hasil belajar masih menggunakan sistem untuk siswa secara umum.
(Antara | Selasa, 13-03-2012 | 22:12:47)

Monday 26 March 2012

132 Sekolah Inklusi Miliki Guru Pendamping Khusus

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat baru ada 132 sekolah inklusi di provinsi tersebut memiliki guru pendamping khusus.
"Masih ada sekolah-sekolah inklusi yang belum memiliki guru pendamping khusus," kata Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga DIY Suparno di Yogyakarta.
Ia mencontohkan, di Kabupaten Gunung Kidul terdapat sebanyak 239 sekolah yang telah memiliki surat keputusan menjadi sekolah inklusi, namun dari catatan dinas belum semuanya memiliki guru pendamping khusus.
Selain itu, kata dia, sejumlah kendala yang juga ditemui dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah inklusi adalah adanya kekurangan guru.
Biasanya, guru pendamping khusus di sekolah inklusi diambilkan dari guru di sekolah luar biasa (SLB), sedangkan jumlah guru di SLB sendiri sudah terbatas.
"Karenanya, ada di beberapa sekolah inklusi yang guru pendamping khususnya hanya berada di sekolah dua hari dalam sepekan," katanya.
Pemerintah Provinsi DIY telah menganggarkan dana untuk keperluan transportasi guru pendamping khusus tersebut ke sekolah inklusi.
Ia berharap seluruh sekolah di provinsi tersebut dapat menjadi sekolah inklusi, terlebih pada 2015 ditargetkan seluruh anak usia sekolah di provinsi tersebut tidak ada yang tidak bersekolah.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana mengatakan, di kota tersebut seluruh sekolah inklusi sudah memiliki guru pendamping khusus.
"Kami bekerja sama dengan sekolah luar biasa untuk guru pendamping khusus ini. Guru-guru tersebut akan mendampingi siswa sesuai dengan kebutuhannya masing-masing," katanya.
Meskipun demikian, Edy mengatakan, masih terus akan meluruskan pandangan dari sekolah-sekolah yang menolak menerima murid berkebutuhan khusus.
"Kami akan terus menjajaki apabila ada sekolah-sekolah yang belum memahami konsep ini. Karena setiap anak usia sekolah berhak memperoleh pendidikan," katanya.
Sementara itu, salah satu guru pendamping khusus di SMP 3 Sentolo Kabupaten Kulon Progo Legiman mengatakan dirinya mendampingi siswa tuna rungu-wicara di kelas 8.
"Siswa tersebut masuk ranking 10 besar. Keberadaan anak berkebutuhan khusus tersebut justru bisa memacu siswa lain untuk memperoleh prestasi terbaik. Sekolah pun bangga dengan mereka," katanya.
(Antara | Selasa, 13-03-2012 | 15:10:15)

Bali Juara UN Karena Guru yang Berkualitas

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh mengungkapkan bahwa Provinsi Bali layak menjadi juara dalam meraih nilai ujian nasional (UN) tertinggi tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs).
"Pantas saja Provinsi Bali berhasil meraih nilai UN tertinggi tingkat SMP/MTs karena ternyata guru-gurunya berkualitas," kata Mohammad Nuh dalam jumpa pers pemaparan hasil Ujian Kompetensi Awal (UKA) di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta.
Pada 2011, Provinsi Bali berhasil meraih posisi juara untuk nilai UN SMP/MTs yaitu 8,11, sedangkan untuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Bali mendapat juara keenam nasional dengan nilai rata-rata 9,34.
Hal tersebut, menurut Muhammad Nuh, sejalan dengan hasil yang diraih oleh para guru dari Provinsi Bali dalam mengikuti UKA 2012.
"Untuk SMP, Provinsi Bali mendapat nilai tertinggi yakni 52,40 dari rata-rata distribusi nilai nasional sebesar 46,15," ujar Menteri.
Sementara untuk tingkat SMA, Bali juga menempati posisi juara yaitu 59,03 dari rata-rata nasional sebesar 51,35.
UKA adalah pemetaan kompetensi guru sebagai alat untuk menyeleksi kelayakan guru untuk mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) sebagai upaya untuk menuju profesionalisme guru.
UKA 2012 diikuti oleh 285.884 peserta dari berbagai tingkatan guru dari 33 provinsi di seluruh Indonesia.
(Antara |  Jumat, 16-03-2012 | 18:18:22)

Indonesia Butuh Revolusi Mental Kebudayaan

Transformasi kehidupan kenegaraan di Indonesia memerlukan revolusi mental kebudayaan sehingga tidak hanya disandarkan pada perubahan di tingkat prosedur dan perundang-undangan, kata pengamat politik Yudi Latif.
"Krisis yang melanda negara kita ini begitu luas cakupannya dan begitu dalam penetrasinya, sementara pemimpin kita mempunyai mentalitas sempit dan dangkal. Oleh karena itu, kita membutuhkan revolusi mental kebudayaan," kata Yudi dalam dalam "Forum Fasilitasi Daerah Dalam Rangka Penguatan Ketahanan Bangsa" di Jakarta.
Revolusi ini menurut Yudi bisa dimulai dengan memperkuat kembali dasar etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
"Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekedar politik sebagaimana biasanya (politics as usual), kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos," kata dia.
Penulis buku "Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila" ini mencontohkan krisis moralitas itu pada bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat lebih sibuk mempermahal ruang kerja namun "mempermurah" nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang.
"Kita sekarang menemukan mentalitas pemimpin yang dangkal. Inilah yang merupakan sumber dari segala sumber korupsi," kata Yudi.
Yudi kemudian mengutip filsuf politik Italia yang hidup pada abad-15 Niccolo Machiavelli yang dalam bukunya Istorie Florentine (Hikayat Florentine) mengatakan bahwa ada empat penyebab korupsi.
"Penyebab pertama adalah para pemuka negeri diperbudak negeri lain hingga negara tidak mampu membuat aturan secara leluasa untuk mengelola urusan sendiri," kata dia.
Penyebab kedua menurut Machiavelli sebagaimana dikutip dari Yudi adalah pemangku kekuasaan dengan kekayaan berlebih namun tidak bersih, yang melalui pundi-pundi keuangannya, bisa menundukkan moral publik di bawah pragmatisme sempit.
"Yang ketiga, kaum elit negeri yang hidup dari popularitas dan berpenghasilan tinggi tanpa kerja keras. Mereka merusak negeri dan memiliki pengikut yang membuat kebobrokan massal," kata Yudi.
Penyebab keempat, korupsi menurut Machiavelli adalah pemahaman agama yang lebih menekankan pada aspek ritual formal daripada esensi ajaran.
Dalam pandangan Yudi Latif, hal inilah yang membuat kaum beragama memilih lebih sibuk memperindah tempat ibadah daripada membebaskan kaum miskin.
"Inilah kondisi kita, korupsi moral yang terjadi di mana-mana, dari soal pengajuan dan penolakan hak angket mafia pajak, soal partai mana yang masuk kabinet dan tidak," kata dia.
Akibatnya menurut Yudi, publik dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk memihak karena setiap fraksi dalam kasus-kasus tersebut mempunyai unsur motif dan jahatnya masing-masing.
"Di negeri ini, problem etis tidak lagi muncul dalam memilih antara yang putih dan yang hitam, tetapi dalam memilih di antara yang sama-sama hitam. Dalam konteks inilah revolusi mental diperlukan," kata Yudi.
Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu, menurut penulis buku "Bung Karno Penemu Pancasila" ini bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia sendiri.
"Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali kembali mutiara terpendam Indonesia, kembali ke rumah Pancasila," kata dia.  
(Antara | Jumat, 02-03-2012 | 15:32:41)

Pendidikan Moral dan Etika Mulai Terabaikan

Pengamat sosial Universitas Muhammadiyah Malang Rinekso Kartono mengatakan pendidikan moral dan etika dalam beberapa tahun terakhir mulai terabaikan dari pelajaran sekolah.
"Sekarang ini sekolah-sekolah, terutama sekolah umum hanya fokus untuk mengejar prestasi akademik, sehingga pendidikan yang menyangkut etika dan moral terabaikan," kata Rinekso di Malang.
Akibatnya, kata dia, anak didik (siswa) secara perlahan mulai mengalami disfungsi sosial maupun etika. Mereka juga mulai berani "menabrak" etika dan norma-norma yang selama ini dilarang agama dan ditabukan oleh lingkungan masyarakat.
Memang, lanjut dia, pendidikan moral dan etika bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, namun keberadaan dan contoh dari orang tua maupun lingkungan juga ikut berperan dalam memmbentuk sikap serta karakter anak.
Akan tetapi, kata Rinekso, pendidikan yang diterapkan di sekolah saat ini sangat jauh berbeda dengan proses dan sistem pendidikan di era tahun 1980-an, selain mengejar prestasi akademik, nilai-nilai etika dan moral juga menjadi target keberhasilan sebuah proses belajar.
Menurut dia, proses belajar yang hanya mengejar prestasi akademik membuat anak-anak jenuh dan "berat", sehingga ketika ada kesempatan, mereka tidak lagi mampu mengontrol afektifnya. Mereka melampiaskan kejenuhannya mulai dari sekedar jalan-jalan di mal hingga nongkrong (hangout) di kafe-kafe.
Selain karena faktor kejenuhan dalam belajar dan pendidikan moral yang mulai longgar, kata Rinekso, budaya bangsa yang mengajarkan kesederhanaan juga mulai bergeser.
Sekarang hedonisme dan konsumerisme sudah menjadi sebuah tren di kalangan masyarakat, tidak hanya bagi orang kaya, tapi juga kurang mampu pun melakoninya, meski jumlahnya tidak banyak.
"Pergeseran hidup dan budaya ini semata-mata karena pendidikan yang menanamkan nilai-nilai etika, moral dan kesederhanaan mulai terabaikan, dan sekolah juga hanya mengejar prestasi akademik, karena nilai akademik bisa dibanggakan secara fisik ketimbang moral yang tidak bisa ditulis dengan angka," kata dosen FISIP UMM itu.
(Antara  |  Senin, 12-03-2012 |  8:38:09)

Saturday 24 March 2012

Lima Provinsi akan Miliki Pusat Pendidikan Autis

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan sedang membangun lima pusat pendidikan autis untuk menangani penderita dari keluarga kurang mampu ekonominya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Suyanto, mengatakan, pusat pendidikan autis dibangun di Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, dan Riau. "Masing-masing dibangun dengan anggaran Rp4 miliar hingga Rp5 miliar," katanya.
Menurut dia, pembangunan pusat pendidikan autis itu, diharapkan selesai pada akhir tahun ini.
"Tujuannya untuk memberikan penanganan lebih baik bagi penderita terutama dari keluarga kurang mampu ekonominya, yang selama ini kesulitan menangani anak mereka," katanya.
Ia mengatakan selama ini pusat pendidikan autis yang ada di Indonesia semua dikelola swasta, sehingga bagi sebagian masyarakat kesulitan menjangkau biayanya, apabila ingin menyekolahkan anak mereka.
"Selama ini hanya pihak swasta yang mendirikan pusat pendidikan autis. Oleh karena itu, pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah provinsi komitmen membangun pusat pendidikan autis. Untuk tahap awal, di lima provinsi sedang dibangun, dan akan segera bisa dimanfaatkan," kata dia.
Dirjen Pendidikan Dasar mengatakan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus itu, Kemendiknas akan bekerja sama dengan fakultas kedokteran di kota setempat, para psikolog, serta dari para tenaga pendidik.
"Mereka akan bekerja sama mengembangkan dan menangani pusat penddikan autis di daerah-daerah itu," kata Suyanto.
Selain pusat pendidikan autis, kata dia pemerintah juga akan membangun sekolah bagi anak berkebutuhan khusus lain di seluruh provinsi di Indonesia, karena hingga saat ini jumlahnya masih sangat kurang.
"Anak-anak berkebutuhan khusus juga harus mendapatkan penanganan secara baik seperti anak lainnya, salah satunya dengan pendirian sekolah bagi mereka," katanya.
Kepala Bidang Diknas Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau Atmadinata mengatakan tahun ini provinsi setempat akan membangun dua sekolah luar biasa (SLB), yaitu di Kota Batam, dan Kabupaten Bintan.
"Tahun ini baru dua yang akan dibangun, sementara untuk pembangunan di kota/kabupaten daerah lain kami berharap bantuan dari pusat," kata Atma. 
(Antaranews.com) Rabu, 07-03-2012  |  09:49:56

Kualitas Guru Kota Tidak Sebesar Insentif

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menilai kualitas guru-guru di kota besar tidak sebesar insentif yang telah diberikan kepada mereka.
"Kenapa peringkat guru di kota-kota besar tidak tinggi dalam Ujian Kompetensi Awal (UKA) 2012, padahal insentif yang diberikan untuk mereka luar biasa," katanya di Jakarta.
Dalam jumpa pers pemaparan hasil UKA 2012 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ia menyebutkan hasil pemetaan nilai UKA 2012 mencatat sepuluh peserta terbaik dari berbagai tingkatan guru sekolah didominasi dari kota/kabupaten kecil.
Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), nilai UKA tertinggi diraih oleh guru SDN 8 Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Nurfatah dengan nilai 80.
Setelah itu, disusul oleh Dina Hanif Mufidah yang merupakan guru SD Muhammadiyah GKB dari Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dengan nilai 77,5. Di tempat ketiga adalah Sutrisno, guru SDN Jatisari kabupaten Pati, Jawa Tengah, dengan nilai 77.
Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), peringkat pertama diraih Melany Wiwanty Parulian Mukuan dari SMP Advent Amurang Kabupaten Minahasa Selatan dengan nilai 87,5. Di tempat kedua adalah Mulya dari Cimahi, Kota Cimahi, Jawa Barat dengan nilai 82,5, sedangkan posisi ketiga adalah Chusnul Arfiane dari SMPN 1 Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dengan nilai 82,5.
Sementara untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), nilai tertinggi diraih Gatot Priadi dari SMAN 1 Karas, Magetan, Jawa Timur, dengan nilai 90. Selanjutnya, Nur Hidayati dari SMAN 11 Siak, Kabupaten Siak, Riau dengan nilai 90, dan posisi ketiga adalah Irmawati Satia Kusumah dari SMA Terpadu Krida Nusantara Bandung, Jawa Barat dengan nilai 88,6.
Mendikbud mengaku meski nilai hasil UKA tersebut rata-rata rendah, namun dia tetap memberi apresiasi terhadap para guru yang mengikuti UKA 2012.
"Nilai rata-rata memang rendah, yakni kurang dari 50 secara nasional, tapi saya gembira dan selalu melihat sisi positifnya, prediksi saya, ujian dilakukan secara jujur karena nilainya rendah," ungkapnya.
Namun, Menteri menegaskan bahwa bukan berarti kalau nilai tinggi adalah hasil dari ketidakjujuran, tapi dia hanya mengajak untuk bersikap realistis. 
(Antara, | Jumat, 16-03-2012 | 19:24:19)

Mahasiswa IPB Gagas Metode Belajar Anak Jalanan

Lima mahasiswa Institut Pertanian Bogor menggagas metode belajar bagi anak jalanan yang diberi nama Rolling Learning Center (RLC).
"RLC itu sangat sesuai untuk anak jalanan dengan melihat latar belakang mereka yang sangat dekat dengan aktivitas di luar," kata Ketua Tim RLC Amalia Firdausi, melalui Humas IPB di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Mahasiswa yang menjadi penggagas sekaligus pengajar RLC itu adalah Amalia Firdausi,  Derry Ferdani Rustanzi, Sekar Ayu Wulandari, Dadi Irawan, dan Larasati Dena Mardhika, di bawah supervisi dosen pembimbing Neti Hernawati, SP, M.Si dari Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).
Ia menjelaskan bahwa RLC adalah sebuah kegiatan belajar unik, langsung dari alam, nomaden, dan menyenangkan.
 Menurut dia, metode baru dalam belajar yang disiapkan tim Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor, yang didanai Ditjen Dikti Kemdikbud memberikan nuansa baru untuk dunia pendidikan.       
"Asyik dan menyenangkan, setelah beberapa kali mengikuti kegiatan Rolling Learning Center (RLC) bersama anak jalanan di sekitar Kampus IPB Darmaga," katanya.
Menurut dia, metode belajar itu menyeimbangkan kemampuan belajar berdasarkan tiga aspek, yakni audio, visual dan kinestetik.
Ia menjelaskan bahwa mata pelajaran yang diberikan kepada anak-anak jalanan adalah Fismen (Fisika Menarik), Kingkong (Kimia Nongkrong), Kadal (Kreativitas dari Anak Lincah), Elang (Entrepreneurship Gemilang), ABBI (Asyiknya Belajar Bahasa Inggris), dan lainnya.
Selain itu, mereka juga mengajarkan moral dan etika setiap pertemuannya.
Mengenai metode pengajaran yang dilakukan, katanya, yaitu mengaplikasikan "concret learning" di setiap mata pelajaran.
Ia memberi contoh, pada kegiatan RLC akhir Februari 2012, tim mengajari peserta belajar tentang kewirausahaan dan ekonomi secara langsung, yakni berlokasi di Pasar Anyar Bogor.
"Mereka belajar banyak hal mulai jual-beli, membeli kebutuhan sesuai apa yang ditugaskan, berkreasi, sampai menjual kembali kreasi mereka," kata Amalia.
"Kami berharap adik-adik bisa lebih gigih berusaha tanpa harus meminta-minta, karena mereka punya potensi," kata Sekar Ayu Wulandari menambahkan.
Tim mahasiswa IPB itu menyatakan bahwa mereka optimistis program itu akan berlanjut nantinya.
Mahasiswa itu mengaku sangat nyaman melaluinya bersama anak jalanan, terlebih metode baru yang mereka gagas justru memberikan signal positif bagi peserta.
Mereka berharap ke depan konsep ini mampu mulai diterapkan oleh pemerintah dan berharap RLC sebagai alternatif belajar nonformal bagi anak jalanan di kota-kota lainnya.
(Antara, | Kamis, 08-03-2012 | 12:41:24)

Keberadaan RSBI Langkah Tepat Tingkatkan SDM

Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Bangka Belitung, Suryadi Su'ud, menilai keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sebagai langkah tepat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
"RSBI memang diperuntukkan bagi siswa yang pintar dengan fasilitas lebih lengkap dibandingkan dengan sokolah lainnya, sehingga bagi siswa yang akan masuk ke sekolah itu harus lebih giat belajar dari sekarang," ujarnya di Koba.
Pernyataan Suryadi menanggapi statemen Dirjen Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Suyanto yang menyatakan RSBI merupakan cermin penyelenggaraan pendidikan yang berkeadilan kepada siswa yang memiliki keunggulan akademik di atas rata-rata nasional.
"Saya setuju dengan pernyataan itu karena di dalam agama Islam keimanan masyarakat juga dibedakan dalam tiga kelas yakni kelas atas, menengah dan kelas bawah dan posisi mereka tentunya berbeda," ujarnya.
Menurut dia, keberadaan RSBI merupakan salah satu langkah yang diambil pemerintah pusat untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang handal, sehingga mampu bersaing dengan negara lain dalam berbagai bidang.
"Saat ini persaingan semakin ketat, apalagi memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, sehingga setiap negara harus menyusun setrategi untuk menyiapkan generasi mudanya sehingga tidak menjadi penonton di negerinya sendiri," ujarnya.
Ia mengatakan, bagi kedua orang tua yang menginginkan anaknya untuk duduk di bangku sekolah yang berbasis RSBI, maka mereka harus memacu anaknya supaya terus belajar dengan giat agar kecerdasannya menjadi di atas rata- rata.
"Para siswa juga harus terus berusaha dan memotivasi diri untuk lebih giat belajar karena kecerdasan itu tidak dapat diraih dengan berdiam diri tanpa belajar dengan giat dan lainnya," ujarnya.
Untuk itu, kata dia, melalui keberadaan RSBI tersebut diharapkan kepada seluruh pihak terkait agar tidak berburuk sangka dengan pemerintah pusat yang membeda-bedakan tingkat kecerdasan para siswa satu dengan yang lainnya karena semua itu demi kebaikan bangsa sendiri.
"Akan seperti apa bangsa kita ke depannya dapat dilihat dari kondisi generasi muda saat ini, sehingga saya berharap keberadaan RSBI untuk mencetak sumber daya manusia berkualitas mampu membawa bangsa Indonesia lebih baik dibandingkan saat ini," ujarnya.
(Antara | Senin, 12-03-2012 | 21:31:23)

Friday 23 March 2012

Konsep Pendidikan-Pengajaran-Kebudayaan Perlu Disatukan

KONSEP pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan nasional perlu disatukan, karena ketiga konsep itu saat ini dilakukan secara terpisah, kata peneliti Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sutaryo.
"Jika filosofinya dipisah, maka undang-undangnya pun jadi terpisah dan pelaksanaannya juga terpisah. Seharusnya ketiganya tidak boleh dipisah," katanya di Yogyakarta.
Menurut dia, hal itu penting karena tujuan pendidikan dan pengajaran seharusnya untuk kebudayaan, yakni memanusiakan manusia berdasarkan kebangsaan.
"Pendidikan dilaksanakan untuk memajukan budi pekerti dan pikiran anak didik melalui pendidikan berjiwa jati diri bangsa yang dapat mengangkat derajat bangsa dan negara untuk memuliakan segenap manusia," katanya.
Ia mengatakan bidang pengajaran dilaksanakan untuk memberi ilmu pengetahuan dan kepandaian dalam rangka memajukan kecerdasan pikiran dan berkembangnya budi pekerti.
"Hal itu yang membedakan konsep pendidikan ketimuran dengan barat. Sistem pengajaran barat menitikberatkan pada intelektual, sedangkan sistem pengajaran ketimuran mengembangkan intelektual dan budi pekerti," katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut dia, Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) berencana menyelenggarakan kongres pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di Yogyakarta, 7-8 Mei 2012.
Ia mengatakan kongres itu akan mendiskusikan tentang kebijakan dan strategi pendidikan nasional, konsep-konsep dasar pendidikan dan aplikasinya, serta pendidikan dalam pembangunan peradaban dan kebudayaan.
"Kongres yang mengusung tema "Pembangunan Karakter Bangsa melalui Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dalam Menghadapi Globalisasi" itu mengundang peserta dari kalangan dosen, guru, peneliti, mahasiswa, birokrat, legislator, politikus, dan tokoh masyarakat," kata Sutaryo.
Ketua Panitia Pelaksana Kongres, Kunjana Rahardi mengatakan, hasil kongres itu akan memberi rekomendasi kepada pengambil kebijakan.
"Hasilnya diserahkan kepada pengambil kebijakan, agar pendidikan nasional kita kembali ke khittah," kata dosen Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta itu.
Menurut dia, rencananya kongres akan dibuka oleh Rektor UGM dan menghadirkan dua pembicara kunci, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X.
"Beberapa pembicara yang diundang hadir antara lain KH Mustofa Bisri, Dik Doang, Anies Baswedan, Malik Fadjar, dan Sri Edi Swasono," kata Kunjana.
(antara 12-03-2012 | 20:27:51)

Sunday 18 March 2012

Kampus Ikut Bertanggung Jawab atas Perilaku Elit Politik

PERGURUAN tinggi yang berperan sebagai pencetak generasi intelektual harus ikut bertanggungjawab atas perilaku lulusannya setelah keluar dari kampus, kata pengamat sosial politik dari Palembang.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya, Dr Ardiyan Saptawan MSi, di Palembang, menyatakan bahwa perilaku elit politik yang korup juga merupakan hasil dari didikan selama di kampus.
"Saya contohkan, misalnya pada pemilihan dekan atau rektor, kampus itu harus memberi contoh yang baik kepada mahasiswa bagaimana cara berdemokrasi yang benar," kata dia.
Ardiyan mengaku prihatin, ketika kampus juga melakukan praktik-praktik demokrasi yang mencederai hati nurani.
"Jadi jangan salahkan, ketika nanti mahasiswa-mahasiswa itu setelah ada di luar mempraktikkan apa yang dialaminya di dunia politik," ujar dia.
Selain itu, Ardiyan juga memandang sekolah juga sangat memberi peran penting dalam memberikan pendidikan yang bermartabat kepada siswa.
"Bagaimana mau menciptakan generasi yang jujur, jika gurunya saja sudah mengajarkan budaya mencontek," kata dia.
Karena itu dia mengingatkan lembaga pendidikan, khususnya kampus seharusnya tidak hanya mengajarkan aspek pengetahuan atau kognitif semata, tetapi aspek moral dan spiritual juga harus diajarkan kepada mahasiswa.
"Jangan sampai kampus itu hanya menciptakan generasi yang pintar, tetapi tidak bermoral," kata dia lagi.  Ardiyan tampil sebagai salah satu narasumber dalam dialog dan pendidikan politik generasi muda yang dilaksanakan Universitas Muhamadiyah Palembang, bersama beberapa pembicara lainnya.
(Antaranews.com) 07-03-2012  |  00:43:59

Dikpora NTB Kaji Pola Pembelajaran Sekolah Berprestasi

DINAS Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Barat akan mengunjungi sejumlah sekolah untuk mengkaji pola pembelajaran yang diterapkan sehingga bisa meraih prestasi bagus terutama hasil ujian nasional.
Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Imhal, di Mataram, mengatakan, pihaknya akan turun ke sejumlah sekolah berprestasi, terutama yang ada di pelosok pedesaan menjelang pelaksanaan ujian nasional (UN).
"Mungkin nanti ada 10 sekolah yang akan kita kunjungi untuk dilihat bagaimana terobosannya menghadapi UN agar bisa meraih prestasi akademik maupun nonakademik," ujarnya.
Ia mengatakan, berbagai terobosan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah berprestasi, meskipun tergolong berada di luar perkotaan, akan dipelajari agar bisa dipraktekkan di sekolah lain yang membutuhkan intevensi demi meningkatkan kualitas pembelajarannya.
"Kalau memang nanti terobosan itu cocok untuk diimplementasikan di sekolah lain kenapa tidak, sepanjang itu efektif meningkatkan kualitas pendidikan," ujarnya.
Imhal mengatakan, pihaknya juga akan mengkaji apakah sekolah yang bersangkutan sudah menerapkan delapan standar nasional pendidikan, yakni standar kompetensi kelulusan, standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Standar nasional pendidikan lainnya adalah standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan dan standar penilaian pendidikan.
Selain mengkaji pola pembelajaran dan penerapan standar nasional pendidikan, kata dia, pihaknya juga akan memantau sejauh mana pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang sudah disalurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Monitoring dan evaluasi penggunaan dana BOS sudah menjadi kewajiban Dinas Dikpora Provinsi NTB sesuai dengan instruksi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ia menjelaskan, penggunaan dana BOS mengarah kepada 13 kompenen, yakni pembelian atau pengadaan buku teks pelajaran, pembiayaan kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, pembiayaan kegiatan pembelajaran ekstrakurikuler siswa dan pembiayaan kegiatan ulangan dan ujian.
Dana BOS juga diperuntukkan sebagai pembiayaan langganan daya dan jasa, membiayai perawatan sekolah, pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan honorer serta pengembangan profesi guru.
"Dana BOS juga diarahkan untuk membantu siswa miskin, membiayai pengelolaan dana BOS itu sendiri, membeli perangkat komputer dan biaya lainnya jika seluruh komponen 1 sampai dengan 12 terpenuhi pendanaannya dari dana BOS," katanya. 
(Antaranews.com) 07-03-2012  |  15:47:59

IPB Rancang "Geng Pencil" untuk Cinta Menulis

     LIMA mahasiswa Institut Pertanian Bogor merancang program "Geng Pencil" atau geng penulis cilik sebagai wahana untuk cinta kegiatan menulis dan membaca.
    "Tak seperti geng-geng pada umumnya. Geng di Desa Dramaga Kabupaten Bogor ini merupakan sekumpulan anak seusia sekolah dasar daerah sekitar yang ingin belajar menulis," kata ketua tim penggagas "Geng Pencil" Ludyah Annisah di Bogor, Jawa Barat.
     Bersama empat rekannya, yakni Muhjah Fauziyah, Qiyamuddin Robbani , Rudi Hartomo, Septian Maulana, di bawah supervisi dosen pembimbing Dr Ir Dwi Hastuti, M.Sc dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB, mereka mencoba menginisiasi keberadaan perpustakaan Desa Dramaga sebagai media cinta membaca dan menulis melalui metode "SMART (Social, Morally, Active, Responsible and Think) Learning".
     Ia menjelaskan, metode itu merupakan edu-alternatif dalam pengembangan motorik anak, untuk anak usia sekolah dasar yang bertujuan untuk merangsang kerja otak anak dalam membangun dan mengembangkan potensi dan kreativitas anak khususnya dalam mengembangkan daya imajinasi.
    Metode tersebut, kata dia, juga mengarahkan anak untuk melakukan pengembangan diri dengan melalui tiga cara konsep pembelajaran, yaitu visual, audio, dan kinestetik.
    Ketiganya, kata Ludyah, memiliki keterkaitan dan pengaruh dalam pelaksanaan aplikasi metode "SMART Learning".
    "Tentunya penyampaian konsep sudah didesain sesuai dengan kebutuhan anak yang sebagian besar melalui permainan edukatif," katanya.
     Dijelaskannya bahwa beberapa permainan yang diberikan berupa "wall of story", "story card", "play your character", dan masih banyak lagi.
     "Kami berharap 'Geng Pencil' mampu dijadikan sarana komunikasi aktif bagi adik-adik serta mampu menghasilkan penulis cilik yang nantinya muncul karya berupa tulisan mungil beberapa dari mereka," katanya.
     Sementara itu, Dwi Hastuti menjelaskan bahwa "Geng Pencil" sengaja dibentuk oleh lima mahasiswa IPB yang dibimbingnya itu melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang telah lolos pendanaan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2011.
     Kegiatan itu, kata di, berjalan setiap Kamis dan Sabtu di aula kantor kepala Desa Darmaga.
     "Sengaja di aula kantor kepala desa karena belum memungkinkan untuk memiliki perpustakaan khusus layaknya perpustakaan sekolah," katanya.
     Ia menambahkan, dasar dari program tersebut adalah berangkat dari adanya perpustakaan desa yang kurang optimal, baik dari segi sarana yang masih kurang mendukung serta keberadaan perpustakaan belum berfungsi secara optimal.
     "Karena itulah kemudian mahasiswa IPB bertekad untuk merancang program, dan lahir dalam bentuk 'Geng Pencil' itu," katanya. 
(Antaranews.com) 05-03-2012  |  11:35:04

Pemerintah: RSBI Sesuai dengan Semangat UUD 1945

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Suyanto menegaskan bahwa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sesuai dengan semangat UUD 1945.
     "RSBI dan SBI sesuai dengan semangat UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya saat mewakili Pemerintah (termohon) di hadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
     Saat mewakili termohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 50 Ayat (3) tentang Sistem Pendidikan Nasioanal (Sisdiknas), Suyanto menegaskan bahwa RSBI maupun SBI bukan bentuk baru liberalisasi pendidikan.
     Menurut dia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara pesat menyebabkan perlunya pergeseran prioritas program pendidikan. Oleh karena itu, proses diversifikasi sasaran program pendidikan harus dilakukan, yang salah satunya dengan mendirikan RSBI sebagai cikal bakal SBI.
     "RSBI didirikan bertujuan untuk menghasilkan lulusan siswa yang mampu berkomunikasi dengan bahasa asing," kata Suyanto di depan majelis hakim yang diketuai Mahfud MD.
     Ia mengatakan bahwa Pasal 50 Ayat (3) mengatur pemerintah maupun pemerintah daerah (pemda) dapat menyelenggarakan satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
     Suyanto juga menegaskan bahwa SBI tidak menciptakan dualisme sistem pendidikan nasional Indonesia karena menggunakan kurikulum nasional.
     "RSBI maupun SBI menggunakan kurikulum nasional yang dikembangkan dan diperkaya menjadi kurikulum bertaraf internasional," katanya menjelaskan.
     Dengan demikian, kata dia, kurikulumnya sama sekali tidak menggunakan kurikulum internasional. Oleh karena itu, penyelenggaraannya tidak menyebabkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia.
     Sebelumnya, Koalisi Anti-Komersialiasi Pendidikan mengajukan uji materi terhadap adanya pelaksanaan sekolah berbasis rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) ke Mahkamah Konstitusi.
     Pemohon menilai RSBI telah menyebabkan terciptanya sistem pendidikan yang diskriminatif karena hanya memberikan kesempatan pada orang yang berkecukupan.

(Antara.news) 06-03-2012  |  19:52:34

Saturday 17 March 2012

Persoalan Guru Semrawut


Persoalan guru di Indonesia sangat semrawut. Selain tingkat pendidikan yang sangat beragam, distribusi guru juga tidak merata dan kesenjangan pendapatan sangat lebar. Ditambah lagi dengan banyaknya institusi yang berwenang mengangkat guru.
Selain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama, pemerintah kabupaten/kota juga ikut-ikutan mengangkat guru. Bahkan, banyak sekolah yang mengangkat guru honorer dengan alasan kekurangan tenaga pengajar.

Sembilan Macam Status Guru
Akibat kondisi itu, di sekolah saat ini ada sembilan status guru. Selain guru pegawai negeri sipil (PNS) di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada pula PNS di bawah naungan Kementerian Agama dan PNS yang diperbantukan di sekolah swasta. Ada pula guru yang berstatus guru bantu, guru honorer daerah, guru tidak tetap (GTT), guru tetap yayasan, dan guru honorer di sekolah negeri. Selain itu ada pula guru SM3T, yakni sarjana pendidikan yang ditempatkan di daerah tertinggal untuk mengikuti program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). (lihat boks)
    
No
STATUS
JUMLAH
REGULASI
KETERANGAN
 1
PNS
1.549.211
SK Kemdikbud
Guru PNS di sekolah negeri
 2
PNS Kementerian Agama
     24.406
SK Kementerian Agama
Guru PNS keagamaan di sekolah negeri
 3
PNS Diperbantukan
   133.326
SK Kemdikbud
Guru PNS yang mengajar di sekolah swasta
 4
Guru Bantu *
     15.584
SK Kemdikbud
Honor diambil dari APBN
 5
Guru Honor Daerah *
     57.631
SK Pemkab/Pemkot
Honor  diambil dari APBD
 6
Guru Tidak Tetap
   831.163
SK Kepala Sekolah
Honor diambil dari Uang Komite/Dana BOS
 7
Guru Tetap Yayasan
   314.355
SK dari Yayasan
Guru tetap yang mengajar di sekolah swasta
 8
Honor di Sekolah Negeri
             -
PP 48, PP 43
Sertifikasi, pengangkatan, pemberdayaan
 9
SM3T
       2.646
-
Sarjana pendidikan di daerah terpencil

Keterangan: * Guru tidak tetap (bukan PNS) yang memiliki istilah berbeda di tiap daerah, ada yang menyebut guru sukarelawan, guru PTT, guru honorer. (Sumber Kemdikbud)

Jumlah guru yang mencapai 2,92 juta orang untuk tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK sebenarnya memadai, tetapi distribusinya yang tidak merata. Di perkotaan terjadi penumpukan guru, sementara di perdesaan banyak sekolah yang kekurangan guru.
Rasio guru juga bisa dikatakan sudah ideal, yakni 1 berbanding 15-23, sedangkan rasio maksimal 1 berbanding 15-32. Rasio ini hanya menunjukkan ukuran ideal semata, tetapi kalau dilihat dari kemampuan guru berdasarkan mata pelajaran dan banyaknya kelas atau rombongan belajar dalam satu sekolah, tiap sekolah akan punya standar masing-masing.
Dengan dalih otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota ikut-ikutan mengangkat guru berstatus guru honorer daerah (honda) yang gajinya dianggarkan dalam APBD. Dan dengan alasan kekurangan guru di bidang spesifik, seperti bahasa inggris, olahraga, kesenian, keterampilan, muatan lokal, banyak kepala sekolah mengangkat guru honorer yang gajinya dibayar dengan uang iuran orangtua siswa lewat komite sekolah dan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sehingga banyak sekolah menghabiskan 50-60 persen dana BOS untuk membayar honor guru ini.
Karena dana BOS teralokasi 50-60 persen honor yang diterima para guru berkisar antara Rp50.000 sampai Rp500.000 per bulan. Setelah pemerintah menetapkan kebijakan bahwa alokasi dana BOS untuk gaji guru maksimal 20 persen, berdampak pada dipangkasnya besaran honor yang mereka terima berkisar antara Rp50.000 sampai Rp250.000 per bulan.
Meski gaji yang mereka terima demikian minim dan nasib mereka sangat mengenaskan, tidak sedikit di antara mereka yang memiliki loyalitas kerja yang tinggi, bahkan mendedikasikan diri untuk mengabdi sepenuh hati demi mencerdaskan anak-anak yang mereka ajar.  Bahkan ada yang sudah puluhan tahun bertahan dengan profesinya sebagai guru honor, dengan harapan suatu hari kelak diangkat oleh pemerintah menjadi pegawai negeri sipil.   
Meskipun pemerintah sejak tahun 2005 mengeluarkan larangan adanya pengangkatan guru honor di sekolah, tapi sama sekali tidak digubris. Akibat kebijakan pengangkatan guru yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan para kepala sekolah ini, membawa dampak jumlah guru honor yang membengkak.
Sulistyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mengatakan, karut marutnya persoalan guru saat ini karena pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tidak memiliki perencanaan soal kebutuhan, kompetensi, dan distribusi guru.
Syawal Gultom, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengakui peta kompetensi dan perencanaan kebutuhan guru memang belum ada dan masih dalam tahap penyusunan.
”Ini memang mengherankan. Lebih dari 66 tahun Indonesia merdeka, peta kompetensi dan kebutuhan guru saja belum ada. Apalagi untuk perencanaan pendidikan Indonesia ke depan,” kata Ketua Forum Komunikasi Guru Bantu Indonesia Ayub Joko Pramono.
Sumber: Kompas, Senin, 5 Maret 2012