Friday 22 February 2013

Urgensi Kurikulum 2013



Pemerintah berkukuh me­lak­sanakan Kurikulum 2013 pa­da Juli mendatang seolah ada ke­harusan yang mendesak. Pa­dahal, ”ba­rangnya” masih kon­troversial, perangkat pelak­sa­na­annya pun be­lumlah siap. ”Tidak bisa ditunda dan ha­rus dimulai tahun ajaran ini. Jika kita menunda, taruhannya be­sar terhadap masa depan ge­­nerasi bangsa,” kata Menteri Pen­didikan dan Kebudayaan Mo­ham­mad Nuh.
Implementasi Kurikulum 2013, menurut Mendikbud, pen­ting dan genting terkait bo­nus demografi pada 2010-2035. Ge­nerasi muda Indonesia per­lu disiapkan dalam kompetensi si­kap, keterampilan, dan pe­nge­tahuan.
Sikap pemerintah itu terasa ber­lebihan karena sejatinya pe­ngaruh perubahan Kurikulum 2013 tidaklah sedahsyat yang di­bayangkan. Asumsi-asumsi te­oritisnya memang muluk, te­tapi yang riil berubah dan mu­dah dilaksanakan hanya pe­ng­urangan jumlah mata pelajaran dan penambahan durasi pem­belajaran di sekolah.
Sementara pendekatan te­ma­tik dan integratif bukanlah per­kara baru, tetapi sekadar pe­negasan yang malah ter­ke­san sebagai dalih ketiadaan IPA dan IPS dalam lis mata pe­lajaran SD. Gagasan tematik dan integratif tidak dirancang un­tuk pembaruan model pem­be­lajaran siswa aktif (active lear­ning) yang menyeluruh ba­gi semua mata pelajaran di se­tiap jenjang persekolahan se­perti dikehendaki UU.
Penerapan Kurikulum 2013 pa­da Juli atau kapan pun dalam for­­mat yang ada tampaknya ti­dak menimbulkan efek kuali­ta­tif yang signifikan bagi ke­ma­ju­an bangsa. Tak ada faktor yang men­dukung perubahan ke arah itu, apalagi jika ber­ba­gai kerancuan kom­petensi inti dan dasar dengan materi di­biar­kan kabur, dan kuri­kulum dilak­sanakan sebelum matang. Selain itu, posisi kuri­kulum dalam suatu sistem pendidikan berada pada level ope­ra­sional yang jalannya ditentukan oleh fondasi, visi, dan substansi pen­didikan, yang di negeri ini justru bermasalah.
Wakil Presiden Boediono me­ngakui bahwa kita memang be­lum punya konsepsi yang je­las mengenai substansi pen­di­dikan yang dapat dijadikan kom­pas bagi begitu banyak ke­giatan dan ini­siatif pendidikan di Tanah Air (Kompas, 29 Agus­tus 2012). Dengan me­nyam­pingkan persoalan arah pen­didikan, kiranya per­ubah­an metode pembelajaran jauh le­bih strategis dan urgen dari­pada kurikulum.
Pembaruan Metode
Meski kontroversial, tadi­nya Kurikulum 2013 diha­rap­kan ma­sih berkah terkait pen­de­katan pembelajaran tematik-in­tegratif. Na­mun, setelah di­cermati konsep dan rencana pe­latihan guru yang kolosal dan kilat, semakin meyakinkan bah­wa Kurikulum 2013 nan­ti­nya sekadar menghasilkan ke­si­bukan —selain pe­ner­bitan bu­ku— penataran kurikulum, bu­kan pelatihan metode baru yang sesungguhnya sangat di­butuhkan.
Pembaruan metode pem­be­lajaran dibutuhkan dan se­ha­rusnya dila­kukan sejak lama da­lam pendidikan kita. Per­tama, karena ada­nya ”revolusi Co­pernican” dalam definisi pen­didikan dari pem­be­lajaran ber­pusat pada guru (teacher-cen­tered) seperti dalam Pa­sal 1 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendi­dik­­an Nasional (Sisdiknas), ke ber­pusat pada murid (student-cen­tered) menurut UU No 20 Ta­hun 2003 sebagai revisi UU Sis­dik­nas.
Pembalikan paradigma ini bu­kan satu kelatahan, me­lain­kan di­dasari pergeseran kon­sep interaksi belajar mengajar da­ri ”me­ngajar” (teaching) ke ”pem­belajaran” (learning). Perkembangan ini selanjutnya me­nuntut perubahan cara pan­dang, pendekatan, dan metode pem­belajaran yang lebih par­ti­si­patif dan dialogis.
Pen­dekat­an tematik-integ­ra­tif sesung­guh­nya sesuai de­ngan pa­ra­dig­ma baru ini, tetapi sa­yang­nya tidak dielaborasi se­cara je­las hingga model pem­be­lajar­an.
Kedua, hasil riset Profesor Beeby tahun 1970-an (bukunya di­terbitkan 1975) menyimpulkan bahwa persoalan kronis pen­didikan kita di antaranya praktik kelas yang membosankan. Guru-gu­ru mengajar dengan latar belakang pengetahuan dan ke­te­rampilan metodik yang minimal sehingga aktivitas kelas seperti ri­tual. Sedikit sekali, kata Beeby, sekolah di Indonesia membantu me­numbuhkan potensi seorang murid. Pengaruh sekolah yang men­jemukan serta tak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang men­jadi dewasa dan memimpin masyarakatnya.
Ketiga, profesionalisme guru. UU No 14 Tahun 2005 tentang Gu­ru dan Dosen telah memberikan landasan kuantitatif bagi pe­ningkatan mutu guru, yaitu kualifikasi akademik, sertifikat pen­didik, dan empat kompetensi: pedagogis, profesional, sosial, dan kep­ribadian. Kompetensi pedagogis adalah kemampuan me­nge­lola pembelajaran dengan mewujudkan suasana belajar dan proses pem­belajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan po­tensi dirinya. Peningkatan profesionalisme guru seyogianya di­tandai berbagai aktivitas pembaruan metode dan kinerja guru.
Keempat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2009 (sa­at membuka Temu Nasional) meminta Mohammad Nuh meng­ubah metodologi belajar mengajar. Pola yang sekarang, kata Pre­siden, tidak mendorong siswa kreatif dan inovatif sehingga sulit me­munculkan jiwa kewirausahaan anak didik.
”Saya minta Menteri Pendidikan Nasional mengubah me­to­dologi belajar mengajar yang ada selama ini. Sejak taman kanak-ka­nak hingga sekolah menengah jangan hanya gurunya yang ak­tif, tetapi harus mampu membuat siswanya juga aktif,” kata Pre­siden (Kompas, 30 Oktober 2009). Presiden seharusnya me­ng­audit kinerja menterinya apakah gagasan bagus dalam pidato di­kerjakan dengan benar atau hanya berlalu terbawa angin.
Perubahan Kesadaran
Metode pembelajaran melekat pada perilaku guru sehingga pem­baruan metode inheren dengan pengembangan aspek ke­manusiaan guru. Oleh sebab itu, pelatihan metode tak cukup de­ngan berceramah tentang pengetahuan dan teknik mengajar, te­tapi juga harus sekaligus melibatkan guru dalam proses dinamis per­ubahan kesadaran dan motivasi profesi. Perbaikan metode akan berpengaruh lebih cepat dan luas terhadap kualitas pen­didikan karena posisi dan peran strategis guru. Metode yang di­pergunakan dan sikap guru juga sangat menentukan ke­berhasilan penanaman nilai-nilai dan pembentukan pola pikir da­lam Pendidikan karakter.
Namun, tak seperti kurikulum —yang 10 kali diubah— metode ku­rang dianggap/tak diketahui penting sehingga upaya pem­baruan hanya sekali sepanjang sejarah pendidikan kita, yakni ke­tika eksperimen Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) 1980-an yang tak berkesinambungan. Di samping itu, mengubah metode tak se­mudah mengembangkan kurikulum yang biasanya cukup menambah atau mengurangi jumlah mata pelajaran dan jam pelajaran.
Era profesionalisme guru sekarang ini seyogianya jadi momentum memperbarui ”praktik kelas” dengan prioritas pengembangan metode baru, bukan mengubah kurikulum yang sebenarnya tak urgen.
KOMPAS.com | Kamis, 21 Februari 2013 |

Monday 11 February 2013

Eks RSBI Putuskan MoU Luar Negeri



Kepala SMA Negeri 1 Jambi Dodi Pariadi mengatakan pihaknya telah memutuskan sejumlah nota kesepahaman (MoU) dengan negara lain terkait kesempatan belajar di luar negeri pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
“Sejak keputusan pembubaran RSBI oleh MK, SMA Negeri 1 Kota Jambi yang berstatus RSBI memutuskan segala bentuk kerja sama dengan luar negeri,” katanya di Jambi, kemarin.
Menurut dia, selama ini, para siswa yang berprestasi di sekolah itu
biasanya mendapat kesempatan untuk menimba ilmu ke beberapa sekolah di Australia. Namun, kini pihaknya tidak lagi menindaklanjuti kerja sama tersebut.
Dodi mengatakan bahwa pihaknya juga akan mengubah semua kurikulum sekolah untuk menjadikan sekolah itu kembali menjadi sekolah reguler.
Kurikulum internasional yang sebelumnya digunakan SMA tersebut saat
menjadi sekolah RSBI, kata dia, akan dihapuskan.
“Kalau selama ini kita adopsi kurikulum dari negara maju, sekarang sudah tidak lagi,” ungkapnya.
Wakil Kepala SMP Negeri 7 Kota Jambi Wayan Mada mengatakan, selama ini, pihaknya menggunakan bahasa Inggris untuk uji kelulusan siswa. Namun, ke depan cara itu akan dihapus.
Selain itu, pihak SMP Negeri 7 juga akan menghapuskan tes yang merupakan syarat masuk untuk menjadi siswa sekolah tersebut.
“Biasanya kami menggunakan tes untuk masuk, sekarang akan disamakan
seperti sekolah reguler, hanya menggunakan hasil UN,” katanya.
Antara.com | Minggu, 3 Februari 2013 |

Disdik Lanjutkan Program Eks RRSBI Dengan CSR



Dinas Pendidikan Kota Batam Kepulauan Riau berencana tetap melanjutkan program rintisan sekolah berstandar internasional dengan menggunakan dana tanggung jawab sosial dari perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar lingkungan sekolah.
“Programnya bagus, jadi dilanjutkan, tetapi dananya dari CSR (Corporate Social Responsibility), bukan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam Muslim Bidin di Batam, Minggu (3/2).
Hanya saja, kata dia melanjutkan, karena RSBI sudah diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi, maka nama program itu juga diganti menjadi sekolah unggulan, bukan RSBI.
“Namanya dihapus, tetapi program tetap dilanjutkan. Programnya memang
bagus, tetap jalan,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam menegaskan.
Menurut dia, program itu dapat berjalan dengan baik bila menggunakan dana CSR dan tidak memungut biaya dari siswa seperti yang selama ini dikeluhkan.
Ia mengatakan, untuk menjalankan dana CSR, komite sekolah harus didorong dalam memaksimalkan fungsinya.
Jika sebelumnya komite menggalang dana dari orang tua siswa, maka dengan CSR, komite harus aktif mengumpulkan dana perusahaan-perusahaan.
Ia menyayangkan keputusan penghapusan RSBI karena program itu sangat baik
untuk memaksimalkan potensi siswa.
“Perlu dibedakan, kumpulan anak pintar dengan yang tidak. Jadi, muncul kemampuannya,” imbuhnya.
Meski tidak ada RSBI, dia berharap program sekolah ungulan dapat
menggantikan sekolah yang menyulut kontroversi karena memungut banyak biaya itu.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas Pemkot Batam Ardiwinata mengatakan
bahwa Pemerintah belum bisa menggunakan anggaran bantuan atau subsidi untuk rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) sebesar Rp3,717 miliar setelah Mahkamah Konstitusi menghapuskan status sekolah rintisan untuk semua tingkatan.
"Hingga saat ini, dana masih belum digunakan. Masih mengendap. Dinas
pendidikan masih menunggu pembicaraan lanjutan terkait dengan anggaran sebesar Rp3,717 miliar untuk SMP dan SMA berstatus RSBI di Batam," kata Ardi.
Ia mengatakan bahwa Dinas Pendidikan Kota Batam masih akan membicarakan penggunaan dana tersebut dengan Wali Kota Batam dan pihak terkait.
Anggaran RSBI Batam pada tahun 2013 sebesar Rp3,717 miliar dialokasikan untuk pembinaan dan revitalisasi gedung sekolah.
APBD untuk RSBI dari dokumen perincian rencana anggaran Dinas Pendidikan kota Batam Tahun 2013 akan diperuntukkan bagi SMP 3 sebesar Rp108 juta, SMP 6 Rp127 juta, SMA 1 Rp231,92 juta dan SMA 3 Rp240,36 juta.
Antara.com | Minggu, 3 Februari 2013 |

Eks RSBI Sebaiknya Jadi Sekolah Unggulan



Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Prof Dr Rochmat Wahab MPd MA mengatakan, sekolah eks Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sebaiknya menjadi sekolah unggulan.
“Eks sekolah RSBI seharusnya menjadi sekolah unggulan namun tetap
menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas,” ujar Rochmat di Jakarta, Jumat (1/2).
Rochmat mengatakan, pada dasarnya dirinya kecewa dengan adanya keputusan MK yang menghapus sekolah RSBI. Sekolah RSBI, kata dia, pada prinsipnya adalah sekolah unggulan. Minimal ada satu sekolah unggulan di setiap kabupaten/kota.
“Sumbangan sukarela itu seharusnya bisa diatur dengan baik. Bisa dibicarakan dengan komite sekolah seperti apa baiknya. Jika transparan, semua yang disumbangkan wali murid juga akan kembali pada siswa itu sendiri,” cetus dia.
Sekolah unggulan, kata Rochmat, sangat diperlukan untuk menghadapi
tantangan global. Apalagi Indonesia akan menjadi bagian utama dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai diberlakukan pada 2015.
“RSBI itu pada awalnya muncul karena adanya tuntutan masyarakat yang
menginginkan adanya kelas internasional di sekolah.”
Semua sekolah eks RSBI akan berstatus menjadi sekolah reguler yang dibina oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
Hal tersebut tertuang melalui Surat Edaran Nomor : 017/MPK/SE/2013 tentang Kebijakan Transisi RSBI, yang diteken Mendikbud pada Rabu, 30 Januari 2013, yang ditujukan kepada para Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan sekolah reguler itu sama halnya dengan sekolah biasa. Baru pada tahun ajaran baru mendatang, akan dibahas mengenai tata cara pengelolaan sekolah lebih lanjut.
Semua papan nama, kop surat, dan stempel sekolah, yang menyebutkan atau menyatakan RSBI tidak dapat dipergunakan dalam proses administrasi atau manajemen sekolah.
Kebijakan tersebut diambil menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-X/2012, yang mengabulkan permohonan Koalisi Pendidikan ke MK.
Dampak putusan itu adalah dihapuskannya sekolah RSBI.
Antara.com | Jumat, 1 Februari 2013 |

Sekolah Eks RSBI Berstatus Binaan Daerah



Mendikbud Mohammad Nuh menegaskan bahwa semua sekolah yang telah mendapatkan izin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) akan berstatus sekolah reguler yang menjadi binaan pemerintah daerah.
“Sekolah reguler itu maknanya sekolah biasa. Selesaikan dulu (hingga akhir tahun ajaran). Nanti, setelah itu, pada saat menjelang tahun ajaran baru, kita akan menetapkan bagaimana mengelola eks RSBI itu,” katanya setelah memberikan keterangan pers tentang anggaran kurikulum 2013 di Kemdikbud, Jakarta, Kamis (31/1).
Penegasan itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor : 017/MPK/SE/2013 tentang Kebijakan Transisi RSBI yang diteken Mendikbud pada 30 Januari 2013 yang ditujukan kepada para gubernur, bupati/wali kota, kepala dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Menurut Mendikbud, semua papan nama, kop surat, dan stempel sekolah, yang menyebutkan atau menyatakan RSBI tidak dapat digunakan dalam proses administrasi atau manajemen sekolah.
Kebijakan ini diterbitkan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-X/2012 yang mengabulkan permohonan Koalisi Pendidikan ke MK. Putusan MK itu menghapus dasar hukum penyelenggaraan RSBI.
Adapun proses belajar mengajar mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP) dan tetap berlangsung sampai akhir Tahun Pelajaran 2012/2013 sesuai dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS).
Terkait pembiayaan, pemerintah provinsi/kabupaten/kota menyediakan anggaran untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu pada sekolah eks RSBI. Sekolah tidak boleh menarik pungutan dari masyarakat yang terkait dengan program RSBI.
Sekolah menerapkan pengelolaan pembiayaan sekolah reguler dengan manajemen berbasis sekolah, namun masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan yang lebih bermutu.
“Pungutan itu memang tidak boleh, tetapi bukan berarti menutup sumbangan masyarakat, masyarakat boleh berpartisipasi,” tegas Menteri Nuh.
Pada surat edaran tersebut juga diatur pembagian tanggung jawab baik pemerintah, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah tetap mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang efisien dan efektif. Selain itu, pemerintah juga melakukan pembinaan satuan pendidikan sesuai dengan SNP.
Adapun pemerintah provinsi/kabupaten/kota tetap bertanggung jawab membina sekolah eks RSBI. Semua dokumen penganggaran yang menggunakan nomenklatur RSBI agar dilakukan revisi.
Pemerintah provinsi/kabupaten/kota wajib menyediakan anggaran sekolah untuk menjamin peningkatan mutu pendidikan di daerah masing-masing. Sebelumnya, RSBI dilahirkan mengacu pada UU Sisdiknas.
Antara.com | Kamis, 31 Januari 2013 |