Wednesday 21 August 2013

Demi Pendidikan Rela Jadi Penarik Becak

Kuliah di perguruan tinggi negeri menjadi gengsi tersendiri bagi sebagian orang. Selain proses seleksi yang tak mudah, nilai prestige menjadi pertimbangan untuk bisa kuliah.
Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) Deden Iskandar salah satunya. Kepada Okezone, ia menceritakan rasa bangga dan jerih payahnya ketika bersekolah hingga bisa masuk ke universitas asal Sumatera Utara itu.
Deden adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara. Ayah Deden berprofesi sebagai penarik becak motor (bentor). Kakak Deden mengalami putus sekolah. Ia tidak tamat SMA. Aku ingin terus sekolah, aku tidak ingin seperti abangku, kata Deden singkat.
Sejak kelas 2 SMP, Deden sudah bekerja. Ia mencuci motor untuk mendapatkan uang. Ketika SMA, ayahnya membelikan motor kepada Deden dikarenakan jarak rumah ke sekolah yang jauh.
Ketika SMA aku dibelikan motor. Lalu aku inisiatif membuat bak gandeng untuk dijadikan bentor. Setiap pulang sekolah aku narik bentor, lalu setelah itu aku les, tutur alumnus SMA Negeri 1 Kota Pinang ini.
Uang yang diperoleh Deden pun digunakan untuk les tambahan dan sebagian ia sisihkan untuk kuliah nanti. Orangtua Deden kerap melarangnya untuk bekerja. Deden diminta untuk fokus sekolah saja. Namun Deden merasa kasihan, ia ingin meringankan beban orangtuanya mengingat masih ada dua orang adik.
Capai sih, sekolah sambil narik bentor. Habis aku kasihan lihat bapak kerja sendiri. Tapi justru dari bekerja itu, aku malah mendapat motivasi lebih, ungkap pemuda yang kerap jadi juara cerdas cermat saat sekolah ini.
Setelah lulus sekolah, Deden berhasil masuk ke USU. Ia membayar biaya kuliah dari uang yang terkumpul selama ia bekerja saat sekolah dulu. Terkumpul Rp7 juta, tapi itu tidak cukup untuk membayar seluruh biaya kuliah, jadi masih harus utang ke saudara, kata mahasiswa akuntansi ini.
Kini, Deden tidak pusing memikirkan biaya kuliah, ia berhasil memperoleh beasiswa dari Tanoto Foundation. Berkat kerja kerasnya, usaha yang Deden lakukan pun membuahkan hasil.
Okezone

Alhamdulillah, Berkat Beasiswa Nggak Jadi PRT

Ketika sudah bertekad, segala cara akan ditempuh untuk meraih apa yang diinginkan. Hal ini tercermin dari Stya Nur Istiqomah. Gadis kelahiran Lampung Utara, 19 tahun silam ini rela bekerja apa saja untuk bisa kuliah, termasuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT).
Stya Nur Istikomah
Stya menceritakan, ia pernah merasakan menjadi PRT selama tiga bulan. Dia pun menuturkannya kepada Okezone.
Waktu itu aku enggak punya uang untuk beli formulir SNMPTN, aku juga enggak mau merepotkan bapak. Kebetulan waktu itu salah satu staf di tempat bapak bekerja sedang mencari pembantu rumah tangga. Jadi ya aku tawarkan diri saja. Satu bulan dibayar Rp600 ribu, kisah alumnus SMA 1 Negeri Merlung, Jambi ini bersemangat.
Stya menceritakan, untuk pergi ke sekolah ia harus menempuh jarak delapan kilometer (km) dengan menumpang truk besar. Ditambah kondisi jalan yang tidak bagus, yang kerap berlumpur apabila turun hujan.
Kalau hujan turun pasti sepatu kotor dan pakaian basah kuyup. Aku sering diejek teman-teman sekolah, pun sering dimarahin guru karena sering datang terlambat. Padahal aku terlambat itu kan bukan keinginan aku, tetapi karena faktor alam, tambah gadis yang kini berkuliah di Universitas Jambi.
Satya sempat kecewa karena tidak lolos SNMPTN, namun ia tidak menyerah begitu saja untuk bisa kuliah. Ia mengambil jalur PMDK yang disediakan oleh pihak sekolah dan akhirnya diterima di Universitas Jambi. Tidak sampai di situ, Satya pun memikirkan bagaimana caranya untuk membayar uang kuliah nanti.
Aku sempat berpikir untuk bekerja lagi sebagai pembantu atau kerja hal lain supaya bisa membiayai kuliah. Untung waktu itu aku menemukan informasi mengenai beasiswa. Aku daftar, ikut seleksi, dan diterima. Untung lah aku jadi bisa kuliah secara gratis, papar mahasiswa jurusan Agroekoteknologi.
Dia mendapat beasiswa dari sebuah yayasan berbasis industri rokok. Jasa perusahaan itu sangat besar dalam hidup aku. Kelak apabila lulus nanti aku akan mengabdi di perusahaan itu, imbuh dia. Perusahaan yang dimaksud adalah Tanoto Foundation.
Orangtua pun menjadi sosok yang sangat berperan dan selalu menyemangati Stya. Ibu pernah berpesan, 'hidupmu itu pilihanmu, pertanggungjawabkan pilihanmu itu', tutup Stya. (OKZ)


Cari Duit untuk Beli Formulir SNMPTN
Bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi negeri masih menjadi mimpi banyak orang di Indonesia. Salah satunya Tya Nur Istiqomah (20), siswi SMAN 1 Merlung, Jambi.
Untuk mendapat secarik formulir Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), gadis yang sering disapa Tya itu harus rela menjadi pembantu rumah tangga.
Tya rupanya sudah terbiasa bersusah payah untuk mendapatkan pendidikan. Sejak SMP sampai SMA, dia harus menumpang truk untuk bisa bersekolah yang jauhnya hingga 8 kilometer.
"Dulu SMP SMA harus bisa semua naik ke atas truk jam 6 pagi. Nanti kalau di tengah jalan kehujanan kita harus plastikin sepatu kita. Sudah sampai sekolah pasti banyak yang ejek karena kita kebasahan," cerita Tya di gathering Tanoto Foundation di desa Batu Layang, Cisarua, Senin (19/8).
Tya tidak bisa protes atau meminta fasilitas sekolah dengan mudah kepada orangtuanya. Sebab bapak-ibunya hanya bekerja sebagai petani kelapa sawit. Situasi semakin pelik ketika ayah Tya berhenti bekerja. Tya yang kebingungan kemudian memantapkan hati untuk tetap maju ke perguruan tinggi.
"Bapak paham saya bilang mau kuliah. Saya harus bisa masuk. Saya lalu jadi pembantu rumah tangga buat beli formulir," kata Tya.
Selama tiga bulan, Tya bekerja menjadi pembantu di rumah asisten perusahaan bekas ayahnya bekerja. Dengan gaji Rp 600 ribu per bulan, dia berhasil membeli formulir SNMPTN. Sayangnya, saat ujian dia tidak lolos.
Tidak patah arang, Tya kemudian mencoba lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) Universitas Jambi jurusan Agroteknologi. Lewat seleksi ini, Tya akhirnya berhasil lulus menjadi mahasiswa di sana.
Menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, tak membuat Tya lepas dari persoalan uang kuliah.
"Saya ambil beasiswa Tanoto Foundation untuk jalur regional. Di Provinsi Jambi cuma empat orang yang terpilih dari 100 pendaftar. Salah satunya saya," kata Tya bangga.
Tya amat bersyukur atas beasiswa yang diberikan Tanoto Foundation kepadanya. Dia berhasil membuktikan pada semua, termasuk orangtuanya bahwa dia berhasil masuk universitas dengan kesungguhan yang dia punya. Tya pun merapalkan pesan disampaikan ibunya.
"Apa yang kamu pilih adalah tanggung jawabmu," tutupnya dengan perasaan haru.
[ren/merdeka.com]

6.000 Guru Depok Siap Sukseskan Kurikulum 2013

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) se-Kota Depok menggelar halal bihalal dengan mengusung tema Melalui Halal Bihalal, Kita Wujudkan Tali Silaturahmi Untuk Meningkatkan Guru yang Bermartabat dan Kuat Menuju Pendidikan yang Bermutu. Hampir 6.000 anggota PGRI Depok hadir dalam kegiatan tersebut.
Ketua PGRI Kota Depok Eman Hidayat mengatakan, acara tersebut merupakan ajang silaturahmi keluarga besar seluruh Dinas Pendidikan dan PGRI Kota Depok. Dia pun mengapresiasi pemerintah kota yang menaggung biaya pendidikan bagi siswa miskin.
Turut berpartisipasi, kata Eman, mereka pun turun ke lapangan untuk mendata anak yang putus sekolah. Kami turut mengentaskan siswa yang putus sekolah di Kota Depok, dengan terjun langsung ke RT/RW untuk mencari data anak yang putus sekolah, jelas Eman di GOR Kartika Kostrad Cilodong, Rabu (21/8/2013).
Dinas Pendidikan, lanjutnya, juga memiliki gerakan peduli siswa yang melibatkan siswa untuk mendata teman-teman di lingkungan mereka yang tidak bersekolah. Data tersebut kemudian akan disampaikan kepada pemerintah sehingga anak tersebut bisa kembali bersekolah.
Guru adalah pembentuk jiwa dan pembangun masyarakat. Mari kita siapkan anak-anak yang unggul, yang berdaya saing tinggi, dan berahlak mulia, imbuhnya.
Kepala Dinas Pendidikan di Kota Depok Herry Pansila mengungkap, guru yang bermartabat dan kuat dengan output menghasilkan manusia yang berkualitas yang dapat sukses menghadapi masa depan yang tidak menentu. Oleh karena itu, dia pun meminta agar seluruh guru di PGRI untuk ikut menyukseskan kurikulum 2013.
Tugas berat kita saat ini adalah mensukseskan kurikulum 2013, yang saat ini baru 30 persen akan dijalankan sekolah-sekolah dengan kurikulum yang baru, ungkap Herry.