Sunday 24 November 2013

Begini Resep Agar Pelajar Tidak Brutal

Supaya remaja tidak brutal, sejak kecil anak jangan ditinggal-tinggal oleh orangtuanya dengan alasan bekerja. Sehingga anak tersebut kurang pengawasan dan perhatian dari orangtuanya sendiri.

Dosen Ilmu Pendidikan Lingkungan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) Stien Johanna Matakupan, M.Pd berpendapat, dalam keluarga sebenarnya pada usia lima tahun pertama masa pertumbuhan anak-anak sedang dalam masa golden periode. Dalam hal ini orangtua yang berperan besar, misalnya orangtua lebih banyak bekerja dan menyerahkan pendampingan anak kepada pembantu, maka anak akan cenderung bersifat brutal.

“Lalu di lingkungan masyarakat juga bagaimana supaya anak-anak itu bisa berinteraksi lebih banyak dengan masyarakat agar tidak berkecenderungan dengan hal-hal yang menyimpang,” ujarnya, Kamis (21/11/2013).

Oleh karena itu, pendidikan karakter bagus dibicarakan di kelas (sekolah), namun akan lebih bagus bila dia terjun di masyarakat dan dibenturkan dengan kondisi yang ada. Misalnya ada sekolah-sekolah yang bagus sudah mulai memberikan program anak yang bekerjasama dengan masyarakat atau anak tinggal dengan masyarakat, dia akan mengalami benturan-benturan budaya. Di lain pihak dia akan belajar pada nilai-nilai yang berbeda.

“Kemudian pendidikan karakter juga lebih banyak kepada diskusi dengan orang dari berbagai golongan. Jadi dia paham, harus menghormati dari segala perbedaan, Indonesia beruntung sebenarnya dengan berbagai macam budaya untuk pendidikan karakter, cuma apakah ada kesempatan atau tidak untuk anak-anak untuk mengeksplorasi, terus juga kegiatan di lapangan misalnya pendidikan karakter untuk tekun, berarti dia harus berkegiatan seperti mengolah sampah atau kegiatan yang tangannya jadi kotor, harus menceburkan ke lumpur, harus mengalami yang tidak enak, itu juga sangat kurang dididik, kita hanya banyak fokus kepada pengetahuan seperti menyelesaikan soal, menjawab ulangan, nilai bagus,” ucapnya.

Lebih lanjut, Guru harus memberikan kesempatan kepada murid untuk melakukan hal seperti itu, walaupun muridnya marah dan menangis tidak apa-apa, namun itu proses belajar yang tidak harus melulu senang, tapi juga ada saatnya di mana dia harus merasakan hal-hal yang dia tidak suka.

“Ada juga orangtua yang tidak mengizinkan anaknya melakukan kegiatan yang sulit atau kesusahan, padahal itu adalah pendidikan karakter. Jadi, pendidikan karakter itu membutuhkan juga guru dan orangtua yang harus sedikit tega, contoh lain misalnya memukul juga tidak apa-apa tapi anak harus tahu kenapa dia dipukul, selama ini kan tidak, hanya ada timbul rasa benci anak terhadap orangtua, menjadi pelarian dan akhirnya pergi dari rumah,” ungkapnya. [Okz]

Monday 18 November 2013

Hei Mahasiswa, Jangan Takut Masa Depan

Pemerintah terus berupaya membangun bangsa yang berkarakter melalui pendidikan. Sebagai konsekuensi atas pembangunan bangsa berkarakter, maka bangsa Indonesia juga harus memiliki sifat mandiri.mandiri.

Demikian disampaikan Pakar Pendidikan Indonesia Darmaningtyas dalam kuliah umum bertema “Pemuda sebagai Inisiator Penggerak Indonesia Emas 2045” di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Semarang (Unnes), belum lama ini.

"Kemandirian bukan hanya soal fisik, tetapi soal mental. Ciri dari bangsa yang mandiri antara lain teguh kepada pendirian sendiri dan tidak mudah tergantung dengan bangsa lain," papar Darmaningtyas, seperti dilansir Okezone, Selasa (12/11/2013).

Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi di Indonesia. Menurut Darmaningtyas, di Indonesia terdapat fenomena semakin tinggi pendidikan, semakin rendah kemandirian dan semangat kewirausahaannya. "Maka perlu adanya suatu usaha untuk mengubah mindset tentang kehidupan," jelasnya.

Sebagai penutup, Darmaningtyas mengutip kalimat dari Moh Hatta sebagai pesan kepada para mahasiswa yang hadir. “Hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang paham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang benderang,” tutup Darmaningtyas.

Okezone.Com

IPK Tinggi tak Cukup untuk Sukses

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) bukan lagi satu-satunya ukuran yang menjamin kesuksesan seseorang di dunia kerja. Nilai akademis yang baik akan menjadi paket lengkap meraih kesuksesan jika ditambah dengan kerja keras yang dilakukan sepenuh hati.

Pendapat tersebut disampaikan Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana di hadapan para calon wisudawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jebolan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM itu mengingatkan, IPK tinggi tidak menjamin seseorang meraih keberhasilan.

IPK tinggi, lanjutnya, hanya menjadi salah satu kunci pintu masuk kesuksesan. Apapun pilihan Anda, jika tanpa memaksimumkan diri tentu tidak akan berhasil. Karena keberhasilan lebih ditentukan tindakan sesorang dengan sepenuh hati dan sepenuh aksi, kata Danang, seperti dinukil dari laman UGM, Minggu (17/11/2013).

Sementara itu, pembicara lainnya, yakni Pimpinan Yayasan Ani-ani Jewellery Budi Utomo mengungkap, keberhasilan bisa dilihat ketika sebuah profesi bisa menghidupi diri sendiri sekaligus menghidupi orang lain. Sementara pengalaman panjang, tambahnya, bisa mengantar seseorang pada pemahaman apa yang sebenarnya diinginkan selama ini.

Pada kesempatan itu, Pengelola Desa Wisata Brayut, Pendowoharjo, Sleman tersebut juga berbagi pengalaman dalam menjalankan sebuah bisnis. Menurut Budi, perencanaan dan riset-riset pasar penting dilakukan bagi calon pebisnis muda. Karena pasar pun terkadang tidak tahu apa yang dibutuhkan.

Oleh karena itu, kata Budi, para pebisnis muda harus jeli dalam melihat kesempatan dan tidak mudah putus asa. Inilah yang membutuhkan kejelian kita dan ditolak diawal-awal itu sudah biasa, tutur Budi.

Budi bercerita, pengenalan terhadap dunia kerajinan dan UMKM didapat saat bekerja pada perusahaan handycraft milik pengusaha Belanda di Bali. Merasa bosan dengan aturan-aturan, sistem, jadwal ketat dan lain-lain, Budi pun memutuskan mandiri dan membuka usaha sendiri.

Karenanya proses kreatif dimulai. Dunia pernak pernik cukup menantang dan saya teringat sejak kecil terbiasa bikin pensil sendiri, menghias kamar, dan lain-lain. Itu semua dimulai pada 2006 sejak saya kembali ke Yogyakarta, tutupnya.


ANTARA.News.Com