Supaya remaja tidak brutal, sejak kecil anak jangan
ditinggal-tinggal oleh orangtuanya dengan alasan bekerja. Sehingga anak
tersebut kurang pengawasan dan perhatian dari orangtuanya sendiri.
Dosen Ilmu Pendidikan Lingkungan, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) Stien Johanna Matakupan, M.Pd
berpendapat, dalam keluarga sebenarnya pada usia lima tahun pertama masa
pertumbuhan anak-anak sedang dalam masa golden periode. Dalam hal ini orangtua
yang berperan besar, misalnya orangtua lebih banyak bekerja dan menyerahkan
pendampingan anak kepada pembantu, maka anak akan cenderung bersifat brutal.
“Lalu di lingkungan masyarakat juga bagaimana supaya
anak-anak itu bisa berinteraksi lebih banyak dengan masyarakat agar tidak
berkecenderungan dengan hal-hal yang menyimpang,” ujarnya, Kamis (21/11/2013).
Oleh karena itu, pendidikan karakter bagus dibicarakan di
kelas (sekolah), namun akan lebih bagus bila dia terjun di masyarakat dan
dibenturkan dengan kondisi yang ada. Misalnya ada sekolah-sekolah yang bagus
sudah mulai memberikan program anak yang bekerjasama dengan masyarakat atau
anak tinggal dengan masyarakat, dia akan mengalami benturan-benturan budaya. Di
lain pihak dia akan belajar pada nilai-nilai yang berbeda.
“Kemudian pendidikan karakter juga lebih banyak kepada
diskusi dengan orang dari berbagai golongan. Jadi dia paham, harus menghormati
dari segala perbedaan, Indonesia beruntung sebenarnya dengan berbagai macam
budaya untuk pendidikan karakter, cuma apakah ada kesempatan atau tidak untuk
anak-anak untuk mengeksplorasi, terus juga kegiatan di lapangan misalnya
pendidikan karakter untuk tekun, berarti dia harus berkegiatan seperti mengolah
sampah atau kegiatan yang tangannya jadi kotor, harus menceburkan ke lumpur,
harus mengalami yang tidak enak, itu juga sangat kurang dididik, kita hanya
banyak fokus kepada pengetahuan seperti menyelesaikan soal, menjawab ulangan,
nilai bagus,” ucapnya.
Lebih lanjut, Guru harus memberikan kesempatan kepada murid
untuk melakukan hal seperti itu, walaupun muridnya marah dan menangis tidak
apa-apa, namun itu proses belajar yang tidak harus melulu senang, tapi juga ada
saatnya di mana dia harus merasakan hal-hal yang dia tidak suka.
“Ada juga orangtua yang tidak mengizinkan anaknya melakukan
kegiatan yang sulit atau kesusahan, padahal itu adalah pendidikan karakter.
Jadi, pendidikan karakter itu membutuhkan juga guru dan orangtua yang harus
sedikit tega, contoh lain misalnya memukul juga tidak apa-apa tapi anak harus
tahu kenapa dia dipukul, selama ini kan tidak, hanya ada timbul rasa benci anak
terhadap orangtua, menjadi pelarian dan akhirnya pergi dari rumah,” ungkapnya.
[Okz]