Monday 26 March 2012

Indonesia Butuh Revolusi Mental Kebudayaan

Transformasi kehidupan kenegaraan di Indonesia memerlukan revolusi mental kebudayaan sehingga tidak hanya disandarkan pada perubahan di tingkat prosedur dan perundang-undangan, kata pengamat politik Yudi Latif.
"Krisis yang melanda negara kita ini begitu luas cakupannya dan begitu dalam penetrasinya, sementara pemimpin kita mempunyai mentalitas sempit dan dangkal. Oleh karena itu, kita membutuhkan revolusi mental kebudayaan," kata Yudi dalam dalam "Forum Fasilitasi Daerah Dalam Rangka Penguatan Ketahanan Bangsa" di Jakarta.
Revolusi ini menurut Yudi bisa dimulai dengan memperkuat kembali dasar etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
"Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekedar politik sebagaimana biasanya (politics as usual), kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos," kata dia.
Penulis buku "Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila" ini mencontohkan krisis moralitas itu pada bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat lebih sibuk mempermahal ruang kerja namun "mempermurah" nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang.
"Kita sekarang menemukan mentalitas pemimpin yang dangkal. Inilah yang merupakan sumber dari segala sumber korupsi," kata Yudi.
Yudi kemudian mengutip filsuf politik Italia yang hidup pada abad-15 Niccolo Machiavelli yang dalam bukunya Istorie Florentine (Hikayat Florentine) mengatakan bahwa ada empat penyebab korupsi.
"Penyebab pertama adalah para pemuka negeri diperbudak negeri lain hingga negara tidak mampu membuat aturan secara leluasa untuk mengelola urusan sendiri," kata dia.
Penyebab kedua menurut Machiavelli sebagaimana dikutip dari Yudi adalah pemangku kekuasaan dengan kekayaan berlebih namun tidak bersih, yang melalui pundi-pundi keuangannya, bisa menundukkan moral publik di bawah pragmatisme sempit.
"Yang ketiga, kaum elit negeri yang hidup dari popularitas dan berpenghasilan tinggi tanpa kerja keras. Mereka merusak negeri dan memiliki pengikut yang membuat kebobrokan massal," kata Yudi.
Penyebab keempat, korupsi menurut Machiavelli adalah pemahaman agama yang lebih menekankan pada aspek ritual formal daripada esensi ajaran.
Dalam pandangan Yudi Latif, hal inilah yang membuat kaum beragama memilih lebih sibuk memperindah tempat ibadah daripada membebaskan kaum miskin.
"Inilah kondisi kita, korupsi moral yang terjadi di mana-mana, dari soal pengajuan dan penolakan hak angket mafia pajak, soal partai mana yang masuk kabinet dan tidak," kata dia.
Akibatnya menurut Yudi, publik dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk memihak karena setiap fraksi dalam kasus-kasus tersebut mempunyai unsur motif dan jahatnya masing-masing.
"Di negeri ini, problem etis tidak lagi muncul dalam memilih antara yang putih dan yang hitam, tetapi dalam memilih di antara yang sama-sama hitam. Dalam konteks inilah revolusi mental diperlukan," kata Yudi.
Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu, menurut penulis buku "Bung Karno Penemu Pancasila" ini bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia sendiri.
"Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali kembali mutiara terpendam Indonesia, kembali ke rumah Pancasila," kata dia.  
(Antara | Jumat, 02-03-2012 | 15:32:41)

No comments:

Post a Comment