Saturday 3 March 2012

Momok yang Bernama Ujian Nasional


Bersikerasnya pemerintah untuk meniadakan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus ujian nasional (UN), telah menampar dan mengoyak-ngoyak perasaan sebagian siswa yang tidak lulus, dan juga para orangtua mereka.
Jelas saja mereka merasa ditampar, dalam keseharian mereka adalah siswa-siswa yang tergolong punya kecerdasan di atas rata-rata, bahkan selalu meraih ranking di kelas. Tapi gara-gara nilai mata pelajaran Matematika saat UN tidak mencapai passing grade kelulusan, membuat mereka terpaksa harus menerima kenyataan pahit, tidak lulus ujian nasional.
Demikian juga ketika pemerintah menaikkan passing grade atau batas minimal nilai kelulusan, telah membangkitkan kekhawatiran sebagian siswa dan para orangtua, yang merasa diri mereka punya keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan itu, misalnya pada diri siswa hanya mengandalkan kemampuan otak yang pas-pasan, dan para orangtua hanya mengandalkan kemampuan ekonomi yang juga pas-pasan, sehingga tidak mampu mengupayakan les privat bagi anak-anak mereka.
Di lingkup lembaga pendidikan (sekolah), UN juga jadi momok menakutkan yang menghantui perasaan kalangan guru dan (terutama) kepala sekolah. Mulai tahun pelajaran (TP) 2007/2008 ada penambahan mata pelajaran yang disertakan dalam UN bagi siswa SMP/MTs. Dan untuk pertama kalinya UN diselenggarakan bagi siswa SD/MI. Hal ini semakin mencemaskan siswa, para orangtua, kalangan guru, dan kepala sekolah tentunya. Karena itu, dalam menghadapi UN ini, para kepala sekolah berjuang ’mati-matian’ agar sekolah yang dipimpinnya tidak sampai jeblok jumlah kelulusannya, yang berarti juga pertanda jeblok pula kredibilitasnya sebagai kepala sekolah.
Untuk mengantisipasi hal ini, berbagai alternatif coba ditempuh. Pertama, Ada sekolah (kepala sekolah) yang mengeluarkan kebijakan menjalin kerja sama dengan lembaga bimbingan belajar untuk memberikan les privat bagi siswa yang akan menempuh UN. Untuk kebijakan yang satu ini, tidak selalu mudah memberlakukannya. Di masa ekonomi yang sulit ini, sebagian siswa yang orangtuanya tergolong tidak mampu, jadi berpikir dua kali untuk ikut les privat. Demikian juga para orangtua yang dikumpulkan bersama dalam rapat komite, ketika disodori sejumlah biaya yang dibebankan untuk les privat anaknya, jadi mengerutkan dahi karena harus mencari jalan bagaimana memperoleh dana ekstra untuk keperluan tersebut.
Kalaupun tidak mendatangkan bimbel dari luar, ada juga kepala sekolah yang membebankan diadakannya les privat pada guru-guru (terutama yang mengajar mata pelajaran yang di-UN-kan) di sekolah itu sendiri. Berarti ada tambahan jam lembur, yang membuat terlambatnya para guru untuk pulang ke rumah mengaso melepaskan kepenatan mengajar dari pagi.
Kedua, ini kebijakan yang tergolong berani dan nekad, yaitu membentuk ’tim sukses’ yang ditugasi menyuplai kunci jawaban kepada siswa lewat ’pintu belakang’ misalnya toilet. Biasanya yang ketiban tugas adalah para guru honor, yang tidak punya kekuatan untuk menolak karena akan berbahaya bagi posisi mereka di sekolah tersebut. Pada UN TP 2006/2007 lalu banyak terbongkar adanya kasus kecurangan seperti ini. Pada UN TP 2007/2008 ini yang jumlah pelajarannya bertambah, dikhawatirkan aksi curang seperti ini akan tetap dilakukan. Kalau masih ada kepala sekolah yang berbuat seperti ini maka integritas patut dipertanyakan.
Ketiga, kebijakan ini tergolong ekstrem, kepala sekolah yang sewaktu menerima SK tugas berada dalam masa transisi, atau setelah pembagian tugas jam mengajar dipatok oleh kepala sekolah terdahulu (sebelum dirinya), dengan dalih wewenang, mengambil kebijakan me-rolling (menukar jam mengajar) guru-guru terutama untuk kelas IX SMP dan XII SMA.
Guru yang dinilai tidak begitu cakap untuk mengajar di kelas tersebut, di-rolling dengan guru yang dianggap cakap. Kebijakan ini bisa dikatakan bagus dan toh kepala sekolah sebagai atasan para guru, memang punya kewenangan penuh untuk menetapkan apa yang dianggapnya bagus walaupun kadang ’menabrak’ norma dan batas kewajaran. Atau dengan kata lain mengambil kebijakan tapi tidak bijak.
Mengapa dikatakan kebijakan yang tidak bijak? Karena mencerminkan hanya memenuhi unsur keselamatan diri pribadi, menyelamatkan harga diri dan jabatan, agar tidak tercoreng dan dianggap gagal bila sekolah yang dipimpinnya banyak siswa yang tidak lulus UN.
Tapi, sebenarnya kepala sekolah telah mengabaikan konflik yang mungkin akan timbul dari kebijakannya me-rolling guru. Kepala sekolah menafikan harga diri guru yang merasa dilecehkan dan dianggap tidak mampu, sehingga perlu menggantinya dengan guru yang ’dianggap’ mampu.
Sementara bagi guru yang ’dianggap’ mampu, timbul anggapan seolah-olah kewajiban memberikan penguasaan materi pelajaran –untuk UN tersebut– hanya dibebankan di pundak mereka semata. Tentu saja mereka akan merasakan betapa beratnya tanggung jawab moral yang dipikul. Mereka akan dihantui perasaan bisakah memberikan yang terbaik bagi para siswa, mengingat betapa majemuknya kadar kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran. Mungkin materi pelajaran yang diasumsikan akan mengakomodir keperluan UN tersebut sudah diberikan semua. Tapi bila minat dan ketekunan siswa belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi UN tersebut sangat rendah, tentu saja tidak bisa meletakkan jaminan keberhasilan siswa ada pada guru yang ’dianggap’ mampu tadi. Lebih-lebih bila siswa pada saat kelas VII, VIII, dan IX SMP atau X, XI, dan XII SMA untuk mata pelajaran yang di-UN-kan diajar oleh guru yang berbeda-beda yang nota bene jelas berbeda pola ajar, cara pandang terhadap UN, dan sikap serta tanggung jawabnya men-support siswa untuk siap dalam menghadapi UN itu sendiri.
Harga diri memang sesuatu yang abstrak, ia tidak bisa secara langsung diraba, didengar, dilihat, dibaui, ataupun dikecap. Karena itu, begitu susahnya menebak apakah seseorang (guru-guru) akan dengan tulus menerima kebijakan yang ditempuh kepala sekolahnya. Apakah mereka tidak tersinggung bila diragukan kemampuannya –bahkan dianggap tidak mampu–  dibanding guru lainnya.
Harga diri begitu penting. Tidak saja bagi kepala sekolah itu sendiri. Orang normal tentu saja tidak senang bahkan bisa jadi akan marah, bila harga dirinya dilecehkan. Harga diri yang tinggi, bisa (kendati tidak selalu) menjadi faktor pendorong (motivator) manusia untuk berkarya penuh prestasi. Dan, setiap orang pada dasarnya senang kalau harga dirinya dijunjung oleh sesamanya.
Perlu tindakan secara berulang untuk mengecek kembali tinggi-rendahnya harga diri di dalam diri setiap insan. Ini perlu dilakukan karena harga diri adalah suatu nilai yang maknanya begitu penting demi tetap terpeliharanya martabat kemanusiaan setiap insan. Rusaknya martabat seseorang lantaran rusaknya harga diri orang itu.
Jadi, kuncinya ada pada niat baik kepala sekolah dalam memberi motivasi dan kepercayaan penuh kepada guru –yang dianggap tidak mampu tadi– bahwa dirinya mampu berbuat yang terbaik bagi para siswa, dan demi menjaga nama baik sekolah tentunya. Bukan sebaliknya, selalu memosisikan mereka pada stigma ’tidak mampu’ dan cenderung membebankan tugas pada mereka yang ’dianggap’ mampu. Jika kondisi ini terus dilanggengkan, bisa menimbulkan kesan seolah-olah kewajiban mempertahankan  atau meningkatkan jumlah kelulusan siswa dan nama baik sekolah, hanya dibebankan kepada guru-guru (terutama kelas IX dan XII) yang ’dianggap’ mampu semata, bukannya dipikul sebagai tanggung jawab bersama.
Bagi guru yang dilekati stigma ’tidak mampu’ seyogianya mesti lebih terpacu untuk berubah dan melepaskan diri dari stigma tersebut. Mustahil bisa meraih prestasi tanpa mau mencoba. Terlepas dari reward and punisment yang proporsional serta profesional terhadap guru yang telah menjaga nama baik sekolah, kepercayaan dan motivasi (dari kepala sekolah) merupakan hal yang vital dalam menegakkan martabat guru dan sekolah.
Latihan Ujian Nasioanl (LUN) tahap I yang diadakan 28-31 Januari lalu untuk SMP kota Bandarlampung kelulusannya hanya 25,09%. Hasil ini mengejutkan dan memprihatinkan. Sebagian siswa gagal mencapai nilai rata-rata minimal 5,25, dan mata pelajaran yang masih jadi momok adalah Matematika, Bahasa Inggris, dan IPA.
Sementara LUN tahap II yang diselenggarakan 25-28 Februari, hasilnya sedikit melegakan karena mencapai kelulusan 38,09%, sehingga ada peningkatan secara signifikan. Sedangkan LUN tahap III 1-5 April, hasilnya lebih menggembirakan lagi karena angka kelulusan mencapai 71,56%, jadi ada peningkatan 33,47% dari LUN tahap II.  Pada LUN tahap III nilai rata-rata siswa pada empat mata pelajaran yang di-LUN-kan ada peningkatan, yaitu untuk matematika 5,60, IPA 5,84, bahasa inggris 5,99, dan bahasa indonesia 7,18. Tapi tetap saja kelemahan siswa masih pada mata pelajaran matematika, IPA, dan bahasa inggris. Dari hasil yang dicapai, pihak sekolah memperoleh peta kemampuan siswa, dan dari sini akan bisa diatur strategi pembelajaran secara terprogram, terarah, dan sistematis, agar siswa benar-benar siap menghadapi UN pada 5-8 Mei mendatang. Misalnya, dengan mengelompokkan siswa berdasarkan ketuntasan minimal, diadakan pelayanan khusus, pengayaan materi, dan latihan soal UN lebih intensif.


TERPUBLIKASI di Surat Kabar RAKYAT LAMPUNG, Selasa, 25 Maret 2008





No comments:

Post a Comment