Saturday 10 March 2012

Membangun Kearifan Peserta Didik

Diibaratkan melestarikan lingkungan hidup. Ada pihak yang bekerja keras menanam, sementara pihak lainnya bekerja keras mencabutinya. Demikianlah halnya dengan pembentukan kearifan pada peserta didik (siswa). Di ruang kelas para guru berusaha menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak mulia, sementara di luar ruang kelas banyak hal yang menggerogoti nilai moral dan akhlak mulia tersebut.
Di rumah mereka disuguhi tayangan televisi yang mengabaikan kaidah-kaidah moral. Di lingkungan sosial mereka dihadapkan pada fenomena tata pergaulan yang menyimpang (seperti pergaulan bebas dan seks pranikah). 
Di sekolah para pelajar dijejali dengan sekian banyak mata pelajaran dan bertumpuk pekerjaan rumah yang tidak berhubungan dengan realitas yang bisa membuat pelajar menjadi arif dan bijak dalam menyikapi kehidupan. Padahal kalau mau dibedah secara dalam, para pelajar berada di lingkungan sekolah hanya berkisar 7 jam sedangkan 17 jam selebihnya berada di lingkungan luar sekolah (rumah dan ruang publik).
Saat berada di ruang belajar (sekolah) yang 7 jam itulah para pelajar berhadapan dengan materi pelajaran dan para pendidik (guru), Tapi manakala telah keluar dari sekolah sebagian waktu mereka habiskan di ruang publik. Ada sebagian, sepulang sekolah, memang segera menuju rumah, dan sebagian lainnya mampir ke mal atau swalayan terlebih dahulu, ada juga ke gedung bioskop, hanya sedikit yang berada di tempat-tempat kursus (bimbingan belajar). Sesampai di rumah aktivitas dilanjutkan dengan  menonton televisi, atau tenggelam dalam asyiknya online menjelajah dunia maya lewat jejaring pertemanan facebook atau twitter. Bisa dikatakan hanya sedikit anak-anak yang sukarela membantu pekerjaan rumahtangga, karena umumnya sudah diambil alih pembantu.
Kalau sudah berhadapan dengan televisi, maka para siswa dihadapkan pada budaya pop yang diproduksi kaum kapitalis. Budaya pop yang menjual citra kenikmatan dan kesenangan konsumen. Para siswa yang berjiwa remaja dicitrakan dengan keriangan dan kesenangan, oleh karena itu mereka seyogianya tampil dengan sosok yang riang, ceria, trendi dan funky. Masa remaja adalah masa bersenang-senang. Berpikir serius tentang masa depan dan dunia kerja adalah masalah nanti kalau sudah dewasa.
Citra yang ditabur oleh budaya pop tayangan televisi ini membangunkan singgasana bagi identitas diri di kalangan remaja. Tak sedikit dari mereka merasa seolah-olah bagian individu yang terlibat dalam setiap tayangan sinetron dan iklan. Setiap cerita dalam sinetron diciptakan sedemikian rupa. Begitu romantis, begitu tragis, begitu mengharu biru, sehingga akan menciptakan suasana hati para penontonnya seolah-olah apa yang melingkup hidup kesehariannya terwakili dan terpapar pada alur kisah dalam setiap sinetron.
Tayangan televisi sarat dengan peristiwa yang menggerogoti moral dan mental bangsa (generasi muda, orang dewasa, dan kaum tua), seperti kriminalitas, pornografi, dan pelanggaran hukum berupa kekerasan dan penyalahgunaan obat-obat terlarang dan zat adiktif lainnya (narkoba), serta segala bentuk manipulatif lainnya di kalangan remaja dan orang dewasa.
Sementara di kalangan orangtua, yang berkiprah pada posisi yang mapan dengan jabatan hebat, sebagian terjerembab pada perilaku yang tidak meneladani, bahkan sungguh memuakkan. Belakangan, heboh di televisi tersiarnya rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan para petinggi Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung. Para pejabat yang menjual harga dirinya begitu murah, mau dibayar oleh para cukong dan makelar hukum.
Sejarah telah memperlihatkan kepada kita bahwa runtuhnya kejayaan suatu bangsa bukanlah dikarenakan kelemahan militer dan kemerosotan ekonomi, tapi karena runtuhnya akhlak dan moral bangsa tersebut.
Kalaupun tidak teronggok di depan televisi, mereka tenggelam dalam keheningan menimati debaran irama jantungnya yang diayun jalinan cerita dalam nove-novel pop penuh khayalan dan angan-angan hampa yang dibacanya. Atau membuka laptop lalu asyik ma’suk menjelajah situs-situs porno.
Ada angin segar yang diembuskan oleh penulis-penulis muda seperti Andrea Hirata dengan tetralogi Laskar Pelangi-nya atau Habiburrahman El-Sirazi dengan Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Di Atas Sajadah Cinta, juga yang terbaru Ustadz Yusuf Mansyur dengan Kun Fayakun. Betapa memoriam yang disuguhkan dengan balutan sastra menjadikan Laskar Pelangi membuat banyak orang terpompa semangat hidupnya. Berbagai kearifan disuguhkan bagai air yang menyejukkan dahaga, bagai cambuk yang melecut semangat untuk tetap berjuang. Dan sisa-sisa asa untuk tetap berikhtiar di tengah ketidakberdayaan, namun ketakwaan menjadi pemacu semangat hidup, akhirnya membuahkan keberhasilan. Kesemua pelajaran moral ini dapat disimak dalam novel-novel tersebut.
Kemudian pompaan semangat yang ditempakan Ibu Muslimah dan Pak Harfan, melecut energi kesepuluh laskar pelangi, dapat disimak secara detil lewat film yang berjudul sama yang telah diputar di berbagai bioskop di tanah air. Konon film ini membuat sebagian penontonnya menitikkan air mata, manakala menyaksikan perjuangan anak-anak Gantong dalam memperoleh ilmu pengetahuan di tengah segala keterbatasan. Tapi, pelajaran yang patut dipetik dari film ini adalah semangat yang tinggi untuk belajar secara sungguh-sungguh. Dan, semangat inilah yang kini mulai pudar di kalangan peserta didik kita. Penyebabnya banyak faktor. Di antaranya, kurangnya sosok yang patut untuk mereka bisa jadikan pemacu semangat itu sendiri, banyak guru yang patut dipertanyakan kompetensinya dan bahkan cenderung malas mengajar, mulai tidak bisa dijadikan sosok yang layak untuk digugu dan ditiru. Kemudian dipicu pula oleh gerusan budaya pop yang disajikan di layar-layar televisi.  
Menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak mulia dalam era kebebasan dan keterbukaan global bukanlah pekerjaan mudah. Diumpamakan menebar benih di tanah kering tandus dan saat musim kemarau pula. Tapi, kalau tidak ada yang mau melakukannya, kelak saat musim hujan tiba lantas apa yang akan tumbuh kalau bukan alang-alang dan rerumputan liar. Karena itu perlu diberikan dorongan dan dipompa semangatnya agar para pendidik tak patah arang dan terus menerus menanamkan moral dan akhlak mulia pada anak didiknya. Walaupun benih disemai saat kemarau, kelak bila musim hujan tiba akan timbul tunas-tunas. Jadi, intinya menebar nilai moral dan akhlak mulia ini janganlah dijadikan pekerjaan yang bisa ditunda, melainkan dijadikan pekerjaan yang terus bersinambungan meski hasil yang didapat sangat minim. 
Bila mengamati tas punggung yang disandang para siswa, terlihat penuh sesak dan menyiratkan ekspresi mereka yang menahankan rasa berat memanggulnya. Buku-buku yang memenuhi tas punggung mereka diasumsikan mengandung standar isi nilai moral dan akhlak mulia dalam berbagai bidang studi. Misalnya pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan Seni Budaya. Tapi apakah sudah cukup? Tentu saja belum. Oleh karena itu diperlukan pengajaran nilai moral dan akhlak mulia secara universal.
Sebelum memasuki dunia pendidikan formal, di rumah, ibu adalah sekolah pertama bagi para siswa. Tentu saja sudah banyak hal yang diajarkan oleh orangtua pada anak-anaknya. Tapi bukan mustahil nilai moral dan akhlak mulia yang ditanamkan oleh orangtua di rumah, belumlah memadai untuk bisa mengatakan para siswa bermoral, sangat relatif dan tergantung pada kondisi moral dan akhlak orangtua masing-masing. Maka, tugas gurulah untuk mengasahnya agar pengajaran nilai moral dan akhlak mulia yang telah disepuh oleh orangtua lebih tajam lagi.
Tentu saja perbuatan menanam benih nilai moral dan akhlak mulia ini, hanya akan terjadi dan berhasil bila si pendidik (guru) sudah lolos uji perihal kebagusan moral dan kemuliaan akhlaknya. Bila guru masih bisa dikatakan belum lolos uji dan integritasnya patut dipertanyakan, kemudian kompetensinya kopong, maka tidak bakal bisa memberikan pengajaran nilai moral dan akhlak mulia.
Mana ada guru yang berani menipu hati nuraninya. Sok suci, sok bersih, mengharapkan anak didiknya agar memiliki nilai moral dan akhlak mulia. Sementara dirinya sendiri tidak bermoral bahkan bisa jadi malah bejad. Dalam hal ini diperlukan sosok guru yang memiliki standar kecerdasan intelektual (IQ) yang baik, Tidak harus jenius, tetapi mestinya di atas atau minimal sama dengan rata-rata. Faktor ini sepatutnya diperhatikan dalam seleksi calon mahasiswa keguruan, karena IQ merupakan bawaan sejak lahir yang tidak bisa lagi berubah signifikan sepanjang hidup.
Selain IQ, kecerdasan emosi (EQ) adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam profesinya, terutama yang banyak berhubungan dengan orang lain, terlebih-lebih guru. Perannya bahkan lebih penting dari IQ. Karena EQ bisa dilatih, pembinaan EQ semestinya mendapat porsi selayaknya dalam pendidikan calon guru.
Berapa banyak kasus kekerasan terjadi di sekolah yang dilakukan oleh para pendidik, yang semestinya memberikan teladan dan pengayoman. Begitu juga kekerasan antarsesama siswa dan tindak asusila lainnya. Tiap kali dilakukan razia pada handphone mereka tersimpan adegan video porno (film biru) yang begitu mudahnya diunduh di internet, lalu disebarkan dengan fasilitas bluetooth.
Faktor lain yang turut menentukan keberhasilan menjadi guru adalah bakat. Ini memang merupakan kombinasi dari banyak hal. Seorang psikolog tentu bisa membedakan mana orang yang berbakat untuk menjadi guru dan mana yang tidak. Karena bakat adalah bawaan sebagaimana IQ dan faktor ini mestinya diperhatikan dalam seleksi calon mahasiswa keguruan.
Kita tidak menutup mata kalau di beberapa daerah di negeri ini masih banyak guru yang tertinggal dengan kemajuan teknologi seperti sekarang. Jangankan di pelosok, di perkotaanpun banyak guru yang gagap teknologi dan cenderung puas dengan pola belajar-mengajar yang konvensional. Hanya duduk di depan kelas sembari mendiktekan pelajaran.
Adanya program pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru adalah salah satu upaya untuk mengangkat citra dan profesionalitas guru. Guru yang mengikuti sertifikasi diharapkan memperoleh ilmu dan wawasan yang lebih untuk dapat menempatkan dirinya pada level profesional. Kemudian guru yang telah mengantungi sertifikat dan menerima tunjangan profesi, seyogianya dituntut untuk dapat menunjukkan kualitasnya. Konsekuensi logis dari apa yang diterimanya, tentu saja kinerjanya akan selalu dipantau oleh LPMP. Ini untuk memastikan apakah mereka telah melaksanakan tugas dengan baik dan profesional atau tidak.
Bentuk pengajaran profesional ini sangat relatif dan multitafsir, tapi setidaknya guru mengajar dengan cara memberi pencerahan dan kearifan kepada peserta didik. Dan pola yang tepat menurut penulis, melalui pendekatan perhatian individual. Yaitu menyelami, mempelajari, dan kemudian memahami kepribadian anak didiknya orang perorang. Melalui cara inilah bisa ditemukan jalan tengah pola ajar dan pola didik yang tidak saja membebaskan guru dari beban berat pembelajaran yang akan mendatangkan stres dan rasa jenuh. Tapi, yang lebih penting akan membuat anak didik menjadi enjoy, nyaman, dan betah di dalam kelas. Serta yang lebih penting telah tertanam dalam benak siswa bahwa guru mana yang paling mereka sukai bila mengajar dan mendidik.
Secara luas telah tertanam adanya pandangan masyarakat terhadap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini menunjukkan betapa mulianya profesi guru. Karena itu, sebagian guru gelisah menjaga stigma tersebut dengan berjuang menjaga dan menjunjung tinggi nilai moral dan akhlak mulia, demi tegaknya martabat dan integritas. Tapi, ada sebagian guru dengan santainya melakukan pengingkaran.
Selamat Hari Guru!!!


TERPUBLIKASI pada Surat Kabar LAMPUNG EKSPRES, Rabu, 25 November 2009

No comments:

Post a Comment