Sunday 4 March 2012

Membina Kepribadian Guru

Ibarat mencari jawaban teka-teki duluan mana telur atau ayam. Begitulah, kalau kita dihadapkan pada persoalan duluan mana membina kepribadian siswa atau guru. Dalam kerangka menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang unggul yang dibebankan pada lembaga pendidikan, maka persoalannya adalah sudah unggulkah tenaga pendidik (baca: guru) sebagai pencipta SDM unggul tersebut.
Pakar pendidikan Prof Dr Zakiah Daradjat pernah melontarkan sinyalemen, ”kepribadian akan sangat menentukan, apakah seorang guru akan menjadi pengrusak dan penghancur masa depan anak didiknya yang masih kecil dan yang sedang goncang jiwanya, ataukah akan menjadi pembentuk, pembangun, dan pengarah masa depan anak didiknya.”
Sinyalemen tersebut mengandung konsekuensi logis, betapa untuk menjadi guru sebagai pengajar, pendidik sekaligus pembina memang memerlukan wawasan yang luas, khususnya yang bersentuhan dengan pembentukan kepribadian guru.
Hal ini patut dipahami mengingat di tangan gurulah potensi generasi muda (SDM) suatu bangsa digali dan ditempa melalui lembaga pendidikan. Untuk memberdayakan potensi yang tergali itu, guru dihadapkan pada peran yang tidak hanya sebatas mengajar atau mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga mendidik dan mengarahkan siswa untuk menjadi orang memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan kedewasaan, bertanggung jawab dan dapat dipercaya.
Muhibbin Syah M.Ed dalam bukunya Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, mengatakan bahwa sesuai sunah Rasulullah saw, peran guru bukan sekadar mengajarkan materi ajar, tetapi juga pendidikan. Atau dengan kata lain tidak sekadar mengajar (ta’lim) tapi juga mendidik (tarbiah).
Mengajar dan mendidik, sekilas dipahami sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Tapi, sebenarnya mendidik lebih dari sekadar mengajar. Kalau mengajar diterjemahkan secara sederhana berupa menyampaikan atau mentransfer ilmu yang dikuasai guru. Maka, mendidik lebih dari sekadar mentransfer ilmu, yaitu mencurahkan perhatian individual sebagaimana perhatian orangtua terhadap anaknya sejak kecil. Ini mencakup pengertian bahwa guru sebagai bagian dari khalifah sang Khalik di muka bumi. Oleh karenanya, semua gerak yang berhubungan dengan pendidikan haruslah merangkum esensi dasar pembinaan pada nilai-nilai ketuhanan dan menjunjung tinggi peran sebagai khalifah di muka bumi tersebut.
Mendidik dengan mencurahkan perhatian individual ini hanya bisa dilakukan bila guru memiliki pemahaman yang kuat terhadap psikologi pendidikan. Karena akan membentuk guru mempunyai kemampuan menyelami, mempelajari, dan kemudian memahami kepribadian anak didiknya orang perorang.
Dari pemahaman orang perorang ini, guru bisa memetakan pola ajar dan pola didik yang tepat diterapkan pada masing-masing individu anak didiknya. Melalui pendekatan perhatian individual inilah bisa ditemukan jalan tengah pola ajar dan pola didik yang tidak saja membebaskan guru dari beban berat pembelajaran yang akan mendatangkan stres dan rasa jenuh. Tapi, yang lebih penting akan membuat anak didik menjadi enjoy, nyaman, dan betah di dalam kelas. Serta yang lebih penting telah tertanam dalam benak siswa bahwa guru mana yang paling mereka sukai bila mengajar dan mendidik.
Tapi, yang lebih penting adalah guru harus punya kemampuan untuk (terlebih dahulu) membangun karakter pribadinya, di mana karakter atau kepribadian guru inilah sebagai landasan agar guru bisa menciptakan rasa nyaman dan betah di dalam kelas bagi siswanya. Artinya, guru terlebih dahulu harus banyak-banyak belajar bagaimana cara mengajar yang baik. Tidak saja bisa mentransfer ilmu dengan cakap, tapi juga bisa memahami bahwa siswa di dalam suatu kelas merupakan kumpulan dari berbagai individu yang memiliki watak dan karakter yang berbeda-beda, kecerdasan dan kemampuan menyerap pelajaran serta penalaran berbeda, problem pribadi dan lingkungan keluarga yang berbeda. Atau dengan kata lain memiliki intelektual, emosional, spiritual, kemampuan material, serta kehidupan sosial yang berbeda-beda.
Dalam hal intelektual, pada dasarnya setiap individu memiliki kecerdasan yang majemuk (multiple intelligences). Menurut Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind, setidak-tidaknya ada delapan jenis kecerdasan dasar yang bisa berkembang, yaitu (1) kecerdasan linguistik, yaitu kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik lisan maupun tulisan, (2) kecerdasan matematis logis, yaitu kemampuan menggunakan angka dengan baik, (3) kecerdasan spasial, yaitu kemampuan mempersepsikan dunia spasial-visual secara akurat, (4) kecerdasan kinestetis jasmani, yaitu kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan, (5) kecerdasan musikal, yaitu kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, (6) kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan mempersepsikan dan membedakan suasana hati, maksud motivasi, serta perasaan orang lain, (7) kecerdasan intrapersonal, yaitu kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut, (8) kecerdasan naturalis, yaitu keahlian mengenali dan mengkategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitarnya. Sekarang tergantung kemampuan guru untuk menemukan kecerdasan bidang apa yang paling menonjol dalam masing-masing individu siswa yang diajarnya. 
Kesalahan besar yang telah jadi ’budaya’ dalam dunia pendidikan di Indonesia, adalah filosofi yang melandasi praktek pendidikan yang bersifat penyeragaman. Baik yang bersifat material seperti seragam sekolah, kurikulum pendidikan, maupun bersifat mental seperti memandang seolah-olah siswa bisa diperlakukan sama rata-sama rasa.
Tidak pernah mau untuk memulai meletakkan landasan sikap menghormati kebebasan hak dan kekuasaan pribadi-pribadi. Sebaliknya justru menenggelamkan pribadi-pribadi ke dalam konformitas. Konformisme ini tidak disadari sebagai sesuatu yang membahayakan, karena akan mematikan identitas diri.
Dengan memahami para siswa sebagai kumpulan individu yang berbeda, yang memiliki kecerdasan majemuk, mestinya bisa dimanfaatkan untuk membantu seorang guru bisa menciptakan suasana pembelajaran yang memenuhi unsur mengajar dan mendidik. Menciptakan suatu interaksi berkait antara guru yang mengajar, bahan pelajaran yang disampaikan, siswa yang menyimak dengan penuh minat dan perhatian yang serius, sehingga terbangun suasana belajar yang tenang dan tentu saja menyenangkan.
Mungkin seorang siswa lemah dalam satu atau dua mata pelajaran, tapi dia menonjol dalam satu atau dua mata pelajaran lainnya. Tinggal bagaimana kejelian seorang guru untuk menemukannya kemudian menggalinya agar terjadi sinergi di antara masing-masing siswa di dalam kelas, dan tentunya akan terbangun suasana belajar yang menguntungkan semua pihak.
Dengan sendirinya akan bisa dielaborasi atau setidak-tidaknya dieliminir suasana belajar yang gaduh. Yang biasanya ditimbulkan beberapa faktor di antaranya, siswa tidak respek pada guru yang mengajar, bahan pelajaran yang disampaikan dan cara guru menyampaikannya tidak menarik, guru yang kelewat otoriter memaksa siswa duduk manis dan diam menyimak guru yang ngoceh di depan kelas, tanpa memberi ruang bagi kebebasan untuk menyampaikan sanggahan atau keberatan terhadap pola ajar dan pola didik yang diterapkannya. Ini akan menciptakan ”masyarakat bisu” dan siswa bersekolah bukannya tambah pintar melainkan tetap bodoh. Suasana dalam kelas sunyi-senyap tak ubahnya seperti kuburan.
Dengan analogi lain, guru menciptakan ’kawanan bebek’ yang hanya bisa duduk bergerombol dan membeo belaka, bukan menciptakan ’elang’ yang bisa terbang bebas ke mana ia suka. Sehingga pendidikan di Indonesia –meminjam istilah J. Drost, Sj– banyak melahirkan bebek ketimbang elang. Ini masih untung daripada ’belang’ alias tidak bebek tidak elang.   
Seiring lengsernya peradaban lama dan munculnya peradaban baru, era reformasi, era keterbukaan. Maka, muncul pula tata kehidupan yang lebih demokratis. Dan dunia pendidikan pun tidak bisa lepas dari perubahan, hari gini sudah tidak jaman guru masih terlena dalam pola pembelajaran yang hanya ngoceh di depan kelas, tanpa tambahan kemampuan mendemonstrasikan keilmuannya. Lebih-lebih guru yang justru marah-marah sembari mengumpat mengeluarkan kata-kata kotor (pinsuhan yang berbau binatang), bila ada siswa yang enggan mencurahkan perhatian dan asik sendiri curhat dengan teman sebelahnya. Menghadapi siswa model begini, tentunya pendekatan perhatian individual itulah yang paling jitu untuk menggiring mereka agar bisa membantu gurunya menciptakan suasana ruang belajar yang tenang dan menyenangkan.
Prof Dr Winarno Surahmad, dalam sebuah bukunya, menyatakan pendidikan yang tidak berlandaskan kuat terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan mengekang kreativitas adalah sebagai ”pembunuh misterius.” Dalam hal ini, anak didik harus diberi keleluasaan mengembangkan dirinya secara lugas. Untuk itu lembaga pendidikan harus menyediakan ruang gerak yang memadai bagi kebutuhan akan perkembangan itu.
Ivan Illich menyebut pendidikan yang hanya melampiaskan dan melewatkan waktu dengan menghafal ide-ide usang tidak ubahnya sebagai penjara bagi siswa. Hal semacam ini, masih diakrabi sebagian guru yang hanya membebankan penyelesaian tugas LKS kepada siswanya, atau hanya melulu mencatat tanpa pernah menerangkan dan membahas apa yang telah dicatat tersebut. Kebiasaan seperti ini kalau dibiarkan akan membahayakan dan memperlambat majunya dunia pendidikan di Indonesia. Maka, sebelum guru memosisikan dirinya sebagai pembentuk, pembina, dan pembangun kepribadian siswa, tentu saja patut membentuk, membangun, serta membina kepribadiannya terlebih dahulu. Ini penting, mengingat sosok guru acap dijadikan panutan, karena dalam masyarakat telah tertanam pandangan bahwa guru patut ’digugu dan ditiru’ sebagai pengakuan betapa mulianya profesi guru.
Ada banyak cara dalam membina kepribadian guru. Dan dari banyak cara itu, ada yang sesuai dan ada pula yang tidak sesuai, ada yang bisa dilakukan dan ada pula yang tidak bisa dilakukan, tergantung kemampuan dan situasi kondisi masing-masing individu. Salah satu dari banyak cara yang penulis maksud, adalah dengan banyak-banyak membaca (terutama buku ilmiah populer), karena buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kunci pembukanya. Kalaupun tidak buku, koran juga merupakan bahan bacaan yang cukup representatif untuk mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, dan tadinya kita tidak tahu akhirnya menjadi tahu. Dengan banyak membaca akan memperluas wawasan kita.
Dalam peringatan Hari Pers Nasional dan HUT Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-62 di  Semarang 9 Februari 2008 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambuatannya saat mencanangkan Gerakan Nasional Gemar Membaca Koran bagi Pelajar SMP dan SMA, menekankan perlunya membaca sebagai bagian penting dalam belajar. Dan apa yang disampaiakan oleh presiden ini patut dicamkan oleh para guru, agar dapat disampaikan pula kepada para siswa didiknya. Mengingat pada masa kini kebanyakan masyarakat kita (tidak hanya siswa) terjebak pada budaya visual, hanyut pada tayangan televisi yang membuai sehingga menghilangkan budaya literer, menjauhkan masyarakat dari kegemaran membaca.
Ajakan presiden ini direspon secara baik oleh Radar Lampung dengan mengadakan pendidikan dan latihan (diklat) jurnalistik bagi guru dan siswa/siswi pengurus OSIS SMP/SMA/SMK di lampung, di antaranya telah dilangsungkan di Bandarlampung, Pesawaran, Tanggamus, Tulang Bawang, Metro, Sukadana, dll.

*) Penulis guru SMPN 28 Bandarlampung, peserta diklat jurnalistik guru Bahasa Indonesia, kerjasama antara MGMP Bahasa Indonesia dengan Surat Kabar Radar Lampung, di SMPN 26 Bandarlampung, Rabu, 5 Maret 2008.

      TERPUBLIKASI di Surat Kabar RAKYAT LAMPUNG, Jumat dan Sabtu, 11 dan 12 Juni 2008. 

No comments:

Post a Comment