Wednesday 7 March 2012

Mencari Solusi, Meluruskan Kekeliruan

Mengkaji ulang pemikiran Raden Mas Soerjadi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara, bahawa pendidikan merupakan daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Tapi, semakin jauh bangsa ini melangkah ke arah tujuan kesempurnaan hidup, dengan berbagai kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan, malah semakin jauh pula tergelincir dari kaidah-kaidah yang mencerminkan bahwa bangsa ini berbudi sebagai hasil dari pengajaran budi pekerti tersebut. Bahkan kaum pendidik (guru) pun semakin menampakkan sosok yang tidak punya budi pekerti itu.
Setelah lima tahun dilaksanakannya ujian nasional (UN), di mana setiap tahun dievaluasi ulang oleh pemerintah dan setiap tahun ditingkatkan passing grade (batas minimal nilai kelulusan), semakin memunculkan adanya kekeliruan yang sengaja diperbuat oleh lembaga pendidikan (sekolah).  Dengan adanya perubahan setiap tahun yang diasumsikan oleh pemerintah agar semakin melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Tapi di balik perubahan itu justru semakin menampakkan potret manusia-manusia yang tidak berkualitas. Dan sosok manusia-manusia yang tidak berkualitas ini –demi menetralisasi berbagai bentuk perbuatan jahat dan melanggar hukum yang mereka perbuat– kita sebut dengan begitu sopannya sebagai oknum. Karena itu, guru-guru dan kepala sekolah yang tertangkap melakukan kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional, misalnya di Makassar Timur (15 guru), di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara (17 guru), perbuatan mereka dinyatakan sebagai perbuatan oknum.
Dr Soetomo pada tahun 1908 telah menorehkan jejak awal bagi langkah perjuangan untuk menggapai kemerdekaan. Setelah 100 tahun usia tonggak sejarah yang ditorehkan tersebut, apakah kita telah merasakan kemerdekaan dalam arti sebenarnya? Jawabannya bisa sudah, bisa belum. Tergantung dari perspektif apa kita menilainya. Banyak perspektif bisa dijadikan alat ukur. Tapi, kalau kita telaah dari perspektif dunia pendidikan, sesungguhnya kita masih terjajah.
Mengapa penulis katakan masih terjajah? Kita tinjau dengan mengkaji ulang kebijakan pemerintah pusat yang mengadakan ujian nasional dengan meniadakan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus. Kemudian menaikkan passing grade nilai kelulusan setiap tahun. Kedua kebijakan yang terkesan dipaksakan ini, akhirnya melahirkan tuntutan dan tekanan secara berantai dari pusat ke daerah.
Tuntutan dan tekanan berantai itu, misalnya dari pusat ada semacam tuntutan terhadap para kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) untuk memacu tingkat kelulusan siswa di daerahnya masing-masing. Lalu kepala daerah menuntut dan menekan kepala dinas pendidikan. Kepala dinas menuntut dan menekan kepala sekolah. Ujungnya, giliran guru-guru mata pelajaran yang di-UN-kan mendapat tuntutan dan tekanan dari kepala sekolah.
Dan, demi mejaga nama baik atau mempertahankan prestasi sekolah inilah kira-kira yang membuat kepala sekolah dan guru-guru berjuang keras untuk mencapai jumlah kelulusan siswa sebanyak-banyaknya, agar tidak mengecewakan dan memalukan, atau tidak akan membuahkan risiko pemanggilan oleh kepala dinas dan/atau wakil bupati/walikota.
Tuntut menuntut seperti di atas mencerminkan betapa belum merdekanya kita, artinya masih ada ”penjajahan” di dunia pendidikan, yang semestinya bisa mencerdaskan dan membebaskan dari belenggu keterjajahan.
Untuk mencapai angka kelulusan memuaskan (baca: tertinggi) berbagai strategi pun diatur. Di antaranya memberikan jam belajar tambahan lewat les privat di luar jam belajar utama. Biasanya setelah bel pulang sekolah, para siswa masih harus tetap berada di sekolah untuk mengikuti les privat tersebut dari pukul 14.00 sampai pukul 16.00 atau bahkan ada yang sampai pukul 17.00 WIB.
Les privat bisa diberikan oleh sebuah lembaga bimbingan belajar, bisa juga oleh guru-guru yang mengajar bidang studi yang di-UN-kan. Hal ini tergantung dari kebijakan kepala sekolah masing-masing. Bahkan ada kepala sekolah yang mengalih-fungsikan pengembangan diri dari ekstrakurikuler menjadi intrakurikuler.
Jam untuk pengembangan diri yang semestinya diisi dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kecakapan yang tersimpan dalam diri masing-masing siswa (kecerdasan musikal dan kinestetis), agar siswa bisa mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta didik, dan kondisi sekolah. Tapi yang terjadi malah dialihkan untuk diisi dengan pengitensifan penguasaan materi ujian nasional. Padahal kebijakan seperti ini sangat bertentangan dengan KTSP.
Kegiatan pengembangan diri dapat dilaksanakan dalam bentuk; pelayanan konseling (kehidupan pribadi, sosial, kesulitan belajar, karier), dan/atau pengembangan kreativitas, kepribadian siswa seperti; kepramukaan, kepemimpinan, KIR, dan lain-lain. (Masnur Muslich, 2007).
Namun demikian, tetap saja kepala sekolah dihantui ketidakberhasilan siswanya dalam mengerjakan soal-soal UN. Dan setiap kegagalan tentu akan menuai risiko, setidak-tidaknya akan dipertanyakan kredibilitasnya sebagai kepala sekolah. Dan yang pasti manakala banyak siswa yang tidak lulus UN, tidak saja kepala dinas tapi juga wakil bupati atau walikota akan memanggil dirinya untuk dimintai pertanggungjawaban perihal kinerjanya sebagai kepala sekolah.
Disebabkan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut, bisa jadi melahirkan perbuatan yang mencerminkan diabaikannya kaidah moral, keluhuran akhlak, dan integritas. Bahkan terindikasi pelanggaran hukum.
Walhasil seperti diketahui secara luas, pada penyelenggaraan UN tahun 2008 masih banyak diwarnai kecurangan yang sengaja diperbuat oleh kepala sekolah dan guru-guru itu sendiri. Kasus seperti yang terjadi di Deli Serdang (Sumatera Utara) dan Makassar, semestinya tidak terjadi kalau saja guru-guru itu menjunjung tinggi nilai moral dan akhlak mulia dengan bekerja secara jujur. Serta menekankan ketercapaian kebehasilan bukan pada jumlah kelulusan semata, melainkan pada tegaknya prinsip-prinsip bekerja secara jujur dan bertanggung jawab. Sehingga setiap keberhasilan dan kegagalan akan disikapi secara arif dan bijaksana.

Budaya Malu dan Nilai Akhlak 

Di mana sesungguhnya letak kesalahan yang jadi tolak pangkal timbulnya berbagai kecurangan tersebut? Hal ini perlu dicari akar permasalahannya.
Momentum kebangkitan nasional yang kita peringatai dengan gegap gempita pada tanggal 20 Mei 2008 lalu, mari kita mencari solusi dan meluruskan kekeliruan yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Sungguh tidak adil rasanya kalau perjuangan siswa belajar selama tiga tahun, berhasil atau tidak hanya ditentukan oleh nilai beberapa mata pelajaran yang diujikan dalam waktu empat sampai enam hari atau enam sampai delapan jam. Bila keberhasilan atau kegagalan siswa dalam menempuh pendidikan diukur dengan standar kuantitatif, akan memicu terjadinya berbagai kecurangan yang berarti pembodohan. Padahal tidak ada korelasi positif antara tingginya nilai rapor atau banyaknya jumlah kelulusan ujian nasional dengan kearifan dan kematangan siswa.
Kearifan dan kematangan siswa, hanya akan bisa tersemai melalui pengajaran nilai moral dan akhlak mulia. Dari sini akan terbentuk sikap hidup seperti; bertanggung jawab, mampu menghadapi risiko, mampu menangkis perbuatan keji, bisa membedakan antara yang benar dan yang fasik, dan yang jelas punya rasa malu dan harga diri.
Sekilas mengkaji kasus di SMA Negeri 2 Lubuk Pakam tersebut di atas, apakah perbuatan guru-guru itu mencerminkan tidak bermoral? Bisa iya. Yang jelas, telah terjadi pengingkaran terhadap budaya malu yang sejatinya harus dipegang teguh dan dijunjung tinggi. Bukankah di dinding sekolah telah terpampang 10 Budaya Malu.
Sistem paternalistik dan panutan yang melembaga dalam tatanan sosial kita, menempatkan masyarakat dalam dua nilai ganda. Dalam hal ini kita sering lupa, betapa masih kuatnya peran keteladanan antara atasan dan bawahan. Kita menetralisasi berbagai bentuk perbuatan jahat dan melanggar hukum sebagai perbuatan oknum. Hal ini benar adanya secara formal. Tapi dampak psikologis yang ditimbulkan oleh perbuatan oknum itu, tidak bisa menghapus kesan tercemarnya citra hokum, tercemarnya lembaga, dan tercemarnya korp. Sudah sering kita berbicara begitu vokal, supaya kita dapat membudayakan rasa malu. Padahal kita lupa, rasa malu itu lebih efektif dibudayakan lewat peran keteladanan. Orang akan menarik logika yang sederhana tapi nyata. Kalau kita tidak ingin melihat murid kencing berlari, janganlah guru kencing berdiri.
Mereka yang bawahan tidak perlu merasa malu, selama atasannya tidak tahu malu. Rasa malu tidak dapat dipaksakan, apalagi dislogankan dan dikampanyekan. Kalau toh dipamrihkan, maka rasa malu akan menjadi shame culture yang semu. Rasa malu yang sesuai dengan nilai budaya kita, berpeluang pada nilai-nilai akhlak masyarakat, dan akhlak ini jelas dijiwai oleh sila pertama dari pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita jujur, bekerja dengan baik, sadar hukum, taat aturan, beradab, berbudaya, dan tertib normatif dalam sikap dan perbuatan, bukan lantaran di muka kita ada jaksa, hakim, polisi, atau atasan. Tapi karena merasa malu pada Allah swt. Karena mustahil masih berani kita menipu, mengelabui, mengecoh, dan berbuat manipulatif dengan sikap munafik kita terhadap Allah swt.
Pada diri manusia terdapat naluri sebagai hewan berpikir (thinking animal) dan menganut prinsip hobbes tanpa merasa malu. Tapi dengan tameng nilai moral dan akhlak mulia, setidaknya akan membentengi diri untuk menganut prinsip animalis tersebut. Rasa malu harus dimulai dengan berani jujur terhadap diri sendiri, memahami makna jabatan sebagai amanah yang menuntut etika dan tanggung jawab.
Secara luas telah tertanam adanya pandangan masyarakat terhadap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini menunjukkan betapa mulianya profesi guru. Karena itu, sebagian guru gelisah menjaga stigma tersebut dengan berjuang menjaga dan menjunjung tinggi nilai moral dan akhlak mulia, demi tegaknya martabat dan integritas. Tapi, ada sebagian guru dengan santainya melakukan pengingkaran.
Lalu bagaimana dengan guru-guru seperti di Lubuk Pakam tersebut, apakah belum puas dengan julukan pahlawan tanpa tanda jasa, sehingga ingin meningkatkannya menjadi ”pahlawan kesiangan” dengan berlaku curang hanya karena tuntutan untuk meraih atau mempertahankan predikat sekolah dengan capaian kelulusan yang membanggakan? Wallahu ’alam bish shawab!

TERPUBLIKASI pada Surat Kabar LAMPUNG EKSPRES, Selasa, 17 Juni 2008.

No comments:

Post a Comment