Saturday 17 March 2012

Persoalan Guru Semrawut


Persoalan guru di Indonesia sangat semrawut. Selain tingkat pendidikan yang sangat beragam, distribusi guru juga tidak merata dan kesenjangan pendapatan sangat lebar. Ditambah lagi dengan banyaknya institusi yang berwenang mengangkat guru.
Selain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama, pemerintah kabupaten/kota juga ikut-ikutan mengangkat guru. Bahkan, banyak sekolah yang mengangkat guru honorer dengan alasan kekurangan tenaga pengajar.

Sembilan Macam Status Guru
Akibat kondisi itu, di sekolah saat ini ada sembilan status guru. Selain guru pegawai negeri sipil (PNS) di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada pula PNS di bawah naungan Kementerian Agama dan PNS yang diperbantukan di sekolah swasta. Ada pula guru yang berstatus guru bantu, guru honorer daerah, guru tidak tetap (GTT), guru tetap yayasan, dan guru honorer di sekolah negeri. Selain itu ada pula guru SM3T, yakni sarjana pendidikan yang ditempatkan di daerah tertinggal untuk mengikuti program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). (lihat boks)
    
No
STATUS
JUMLAH
REGULASI
KETERANGAN
 1
PNS
1.549.211
SK Kemdikbud
Guru PNS di sekolah negeri
 2
PNS Kementerian Agama
     24.406
SK Kementerian Agama
Guru PNS keagamaan di sekolah negeri
 3
PNS Diperbantukan
   133.326
SK Kemdikbud
Guru PNS yang mengajar di sekolah swasta
 4
Guru Bantu *
     15.584
SK Kemdikbud
Honor diambil dari APBN
 5
Guru Honor Daerah *
     57.631
SK Pemkab/Pemkot
Honor  diambil dari APBD
 6
Guru Tidak Tetap
   831.163
SK Kepala Sekolah
Honor diambil dari Uang Komite/Dana BOS
 7
Guru Tetap Yayasan
   314.355
SK dari Yayasan
Guru tetap yang mengajar di sekolah swasta
 8
Honor di Sekolah Negeri
             -
PP 48, PP 43
Sertifikasi, pengangkatan, pemberdayaan
 9
SM3T
       2.646
-
Sarjana pendidikan di daerah terpencil

Keterangan: * Guru tidak tetap (bukan PNS) yang memiliki istilah berbeda di tiap daerah, ada yang menyebut guru sukarelawan, guru PTT, guru honorer. (Sumber Kemdikbud)

Jumlah guru yang mencapai 2,92 juta orang untuk tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK sebenarnya memadai, tetapi distribusinya yang tidak merata. Di perkotaan terjadi penumpukan guru, sementara di perdesaan banyak sekolah yang kekurangan guru.
Rasio guru juga bisa dikatakan sudah ideal, yakni 1 berbanding 15-23, sedangkan rasio maksimal 1 berbanding 15-32. Rasio ini hanya menunjukkan ukuran ideal semata, tetapi kalau dilihat dari kemampuan guru berdasarkan mata pelajaran dan banyaknya kelas atau rombongan belajar dalam satu sekolah, tiap sekolah akan punya standar masing-masing.
Dengan dalih otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota ikut-ikutan mengangkat guru berstatus guru honorer daerah (honda) yang gajinya dianggarkan dalam APBD. Dan dengan alasan kekurangan guru di bidang spesifik, seperti bahasa inggris, olahraga, kesenian, keterampilan, muatan lokal, banyak kepala sekolah mengangkat guru honorer yang gajinya dibayar dengan uang iuran orangtua siswa lewat komite sekolah dan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sehingga banyak sekolah menghabiskan 50-60 persen dana BOS untuk membayar honor guru ini.
Karena dana BOS teralokasi 50-60 persen honor yang diterima para guru berkisar antara Rp50.000 sampai Rp500.000 per bulan. Setelah pemerintah menetapkan kebijakan bahwa alokasi dana BOS untuk gaji guru maksimal 20 persen, berdampak pada dipangkasnya besaran honor yang mereka terima berkisar antara Rp50.000 sampai Rp250.000 per bulan.
Meski gaji yang mereka terima demikian minim dan nasib mereka sangat mengenaskan, tidak sedikit di antara mereka yang memiliki loyalitas kerja yang tinggi, bahkan mendedikasikan diri untuk mengabdi sepenuh hati demi mencerdaskan anak-anak yang mereka ajar.  Bahkan ada yang sudah puluhan tahun bertahan dengan profesinya sebagai guru honor, dengan harapan suatu hari kelak diangkat oleh pemerintah menjadi pegawai negeri sipil.   
Meskipun pemerintah sejak tahun 2005 mengeluarkan larangan adanya pengangkatan guru honor di sekolah, tapi sama sekali tidak digubris. Akibat kebijakan pengangkatan guru yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan para kepala sekolah ini, membawa dampak jumlah guru honor yang membengkak.
Sulistyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mengatakan, karut marutnya persoalan guru saat ini karena pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tidak memiliki perencanaan soal kebutuhan, kompetensi, dan distribusi guru.
Syawal Gultom, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengakui peta kompetensi dan perencanaan kebutuhan guru memang belum ada dan masih dalam tahap penyusunan.
”Ini memang mengherankan. Lebih dari 66 tahun Indonesia merdeka, peta kompetensi dan kebutuhan guru saja belum ada. Apalagi untuk perencanaan pendidikan Indonesia ke depan,” kata Ketua Forum Komunikasi Guru Bantu Indonesia Ayub Joko Pramono.
Sumber: Kompas, Senin, 5 Maret 2012

No comments:

Post a Comment