Saturday 19 January 2013

Ganti Kurikulum Idealnya 10 Tahun Sekali


Perubahan Kurikulum Dipertanyakan
Perubahan kurikulum untuk tahun ajaran 2013/2014 menuai kritik dari para pengamat pendidikan dan juga dari guru yang nantinya akan menjadi ujung tombak dari penerapannya.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Lody Paat mengatakan, bahwa pemerintah harus menjelaskan alasan perubahan kurikulum secara jelas pada masyarakat. Ada kewajiban untuk menunjukkan penelitian kurikulum yang pemerintah lakukan dan apa hasilnya sehingga harus diubah.
"Alasannya harus benar dan sesuai secara pedagogis. Jangan hanya karena sudah menjadi rencana kerja saja. Penelitian yang mereka lakukan juga apa hasilnya," kata Lody Paat.
Menurutnya, penataan pendidikan ini harus diawali melalui masing-masing sekolah terlebih dahulu. Perubahan kurikulum secara nasional ini dinilainya tidak akan dapt diterima baik. Sementara penataan pendidikan dari sekolah akan lebih efektif karena sekolah yang paham benar dengan kondisi yang ada.
"Sekarang diubah semua seluruh Indonesia. Tiap daerah berbeda karakteristiknya. Harusnya ditinjau dulu dan lihat masalah utamanya," ujar Lody.
Sementara itu guru dari Pondok Pesantren Dayah Darul Ihsan Aceh, Mutiara Fahmi Razali, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Hal ini tercermin dari mudahnya satu kurikulum berubah tanpa didasari alasan.
"Saat di Jepang, saya lihat ada kejelasan visi dan misi pendidikan. Kemudian kurikulum tidak berubah-ubah tiap ganti menteri," jelas Fahmi.
Saat berkunjung ke Jepang, ia sempat berbincang dengan kepala sekolah di sana. Perubahan kurikulum di Jepang sendiri baru terjadi paling cepat setelah 10 tahun. Pasalnya, penilaian kurikulum tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat dan melihat dampaknya secara instan saja.
"Paling tidak 10 tahun baru berganti. Jangan ada masalah sedikit, ganti kurikulum. Kalau begini kasihan anak didik dan gurunya juga," ungkap Fahmi.
Antara.com | Senin, 19 November 2012 |
Kurikulum 2013 Belum Diperlukan
Sejumlah praktisi pendidikan berpendapat bahwa kurikulum 2013 belum diperlukan karena perlu pengkajian lebih lanjut serta sosialisasi secara luas kepada masyarakat agar dapat memahami perubahan kurikulum tersebut.
"Sebenarnya pergantian kurikulum baik, tetapi tidak secepat ini. Perlu waktu untuk sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mengerti serta memahaminya, terutama bagi masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan," kata seorang praktisi pendidikan, dosen, sekaligus staf penerbit buku sekolah Suwardi Edhytomo.
Senada juga dikatakan oleh seorang praktisi pendidikan lainnya Subagya, kurikulum yang sedang berjalan saat ini pada dasarnya baik, terutama dari segi proses belajar. "Namun, beban materi untuk anak Sekolah Dasar (SD) terlalu banyak," kata Subagya.
Tekanan pelajaran masih pada aspek kognitif. Di Jerman hanya empat pelajaran yakni berhitung, berbahasa, olahraga, dan seni. Jadi, kurikulum 2013 ini belum diperlukan.
Sebaiknya ambil saja materi yang relevan dan penambahan soft skill atau pendidikan karakter sehingga bekal kemampuan dan keterampilan dasar untuk kehidupan sesuai bagi perkembangan anak usia SD yang optimal.
Lebih lanjut Suwardi Edhytomo menambahkan pergantian kurikulum ini membuat masyarakat panik sehingga perubahan kurikulum perlu waktu untuk dikaji terlebih dahulu serta diikuti dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan sosial masyarakat.
Suwardi dan Subagya sependapat bahwa mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bagi SD belum perlu untuk tersendiri sebaiknya digabungkan saja dalam mata pelajaran Pengetahuan Umum.
Sementara itu, Subagya menjelaskan soft skill atau pendidikan karakter tercakup dalam ketangguhan pribadi (IQ), sosial (EQ), dan spiritual (SQ).
Daniel Goleman seorang ilmuwan Amerika Serikat menegaskan keberhasilan hidup manusia ditentukan oleh 15 persen ketangguhan pribadi (IQ) dan 85 persen justru oleh soft skill atau pendidikan karakter.
Antara.com | Selasa, 18 Desember 2012 |
Ganti Kurikulum Semestinya 10 Tahun
Kontroversi yang membelit perubahan kurikulum ini tak kunjung berhenti. Banyak pihak menilai perubahan kurikulum tanpa kejelasan waktu ini justru berdampak negatif pada pengembangan kualitas pendidikan. Semestinya, kurikulum dibiarkan berjalan paling tidak selama 10 tahun agar ada hasil yang diperoleh.
Sekretaris Jendral National Education Watch, Jonner Sipangkar, mengatakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang hanya berumur enam tahun masih belum dapat dilihat hasilnya secara signifikan. Umumnya, negara lain membiarkan satu kurikulum berjalan selama 10 hingga 15 tahun agar pemetaan hasilnya terlihat jelas.
"Ini baru dua tahun diganti. Itu dari kurikulum tahun 2004 ke 2006. Sekarang dari 2006 ke 2013, juga baru enam tahun. Apa yang bisa dilihat? Dampaknya apa?," kata Jonner saat jumpa pers mengenai penolakan kurikulum 2013 di Reading Room, Kemang, Jakarta.
Ia mengambil contoh negara tetangga yaitu Singapura yang menjalankan konsep kurikulum tidak berbeda dengan Indonesia mampu menempati posisi keempat berdasarkan hasil riset dari Pearson, PISA dan TIMSS. Sementara Indonesia justru jauh terpuruk di peringkat bawah terkait kualitas pendidikan.
Padahal anggaran pendidikan di Indonesia mencapai 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jika berkaca pada besarnya anggaran ini, maka seharusnya kualitas pendidikan di tanah air bisa jauh lebih baik dari Singapura yang anggaran pendidikannya tidak sampai 20 persen dari anggaran nasional.
"Anggaran di Singapura memang tidak besar. Karena untuk perubahan kurikulum itu mereka biasanya menunggu 15 tahun. Fokusnya hanya pada peningkatan kualitas guru. Indonesia harusnya melihat itu," tandasnya.
KOMPAS.com | Rabu, 19 Desember 2012 |

No comments:

Post a Comment