Perubahan Kurikulum Dipertanyakan
Perubahan
kurikulum untuk tahun ajaran 2013/2014 menuai kritik dari para pengamat
pendidikan dan juga dari guru yang nantinya akan menjadi ujung tombak dari
penerapannya.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), Lody Paat mengatakan, bahwa pemerintah harus menjelaskan alasan
perubahan kurikulum secara jelas pada masyarakat. Ada kewajiban untuk
menunjukkan penelitian kurikulum yang pemerintah lakukan dan apa hasilnya
sehingga harus diubah.
"Alasannya harus benar dan sesuai secara
pedagogis. Jangan hanya karena sudah menjadi rencana kerja saja. Penelitian
yang mereka lakukan juga apa hasilnya," kata Lody Paat.
Menurutnya, penataan pendidikan ini harus
diawali melalui masing-masing sekolah terlebih dahulu. Perubahan kurikulum
secara nasional ini dinilainya tidak akan dapt diterima baik. Sementara
penataan pendidikan dari sekolah akan lebih efektif karena sekolah yang paham
benar dengan kondisi yang ada.
"Sekarang diubah semua seluruh
Indonesia. Tiap daerah berbeda karakteristiknya. Harusnya ditinjau dulu dan
lihat masalah utamanya," ujar Lody.
Sementara itu guru dari Pondok Pesantren
Dayah Darul Ihsan Aceh, Mutiara Fahmi Razali, mengatakan bahwa pendidikan di
Indonesia tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Hal ini tercermin dari mudahnya
satu kurikulum berubah tanpa didasari alasan.
"Saat di Jepang, saya lihat ada
kejelasan visi dan misi pendidikan. Kemudian kurikulum tidak berubah-ubah tiap
ganti menteri," jelas Fahmi.
Saat berkunjung ke Jepang, ia sempat
berbincang dengan kepala sekolah di sana. Perubahan kurikulum di Jepang sendiri
baru terjadi paling cepat setelah 10 tahun. Pasalnya, penilaian kurikulum
tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat dan melihat dampaknya secara
instan saja.
"Paling
tidak 10 tahun baru berganti. Jangan ada masalah sedikit, ganti kurikulum.
Kalau begini kasihan anak didik dan gurunya juga," ungkap Fahmi.
Antara.com | Senin, 19
November 2012 |
Kurikulum 2013 Belum Diperlukan
Sejumlah
praktisi pendidikan berpendapat bahwa kurikulum 2013 belum diperlukan karena
perlu pengkajian lebih lanjut serta sosialisasi secara luas kepada masyarakat
agar dapat memahami perubahan kurikulum tersebut.
"Sebenarnya pergantian kurikulum baik,
tetapi tidak secepat ini. Perlu waktu untuk sosialisasi kepada masyarakat agar
dapat mengerti serta memahaminya, terutama bagi masyarakat yang berkecimpung di
dunia pendidikan," kata seorang praktisi pendidikan, dosen, sekaligus staf
penerbit buku sekolah Suwardi Edhytomo.
Senada juga dikatakan oleh seorang praktisi
pendidikan lainnya Subagya, kurikulum yang sedang berjalan saat ini pada
dasarnya baik, terutama dari segi proses belajar. "Namun, beban materi
untuk anak Sekolah Dasar (SD) terlalu banyak," kata Subagya.
Tekanan pelajaran masih pada aspek kognitif.
Di Jerman hanya empat pelajaran yakni berhitung, berbahasa, olahraga, dan seni.
Jadi, kurikulum 2013 ini belum diperlukan.
Sebaiknya ambil saja materi yang relevan dan
penambahan soft skill atau pendidikan
karakter sehingga bekal kemampuan dan keterampilan dasar untuk kehidupan sesuai
bagi perkembangan anak usia SD yang optimal.
Lebih lanjut Suwardi Edhytomo menambahkan
pergantian kurikulum ini membuat masyarakat panik sehingga perubahan kurikulum
perlu waktu untuk dikaji terlebih dahulu serta diikuti dengan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan sosial masyarakat.
Suwardi dan Subagya sependapat bahwa mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bagi SD
belum perlu untuk tersendiri sebaiknya digabungkan saja dalam mata pelajaran
Pengetahuan Umum.
Sementara itu, Subagya menjelaskan soft skill atau pendidikan karakter
tercakup dalam ketangguhan pribadi (IQ), sosial (EQ), dan spiritual (SQ).
Daniel
Goleman seorang ilmuwan Amerika Serikat menegaskan keberhasilan hidup manusia
ditentukan oleh 15 persen ketangguhan pribadi (IQ) dan 85 persen justru oleh soft skill atau pendidikan karakter.
Antara.com | Selasa, 18
Desember 2012 |
Ganti Kurikulum Semestinya 10 Tahun
Kontroversi
yang membelit perubahan kurikulum ini tak kunjung berhenti. Banyak pihak menilai
perubahan kurikulum tanpa kejelasan waktu ini justru berdampak negatif pada
pengembangan kualitas pendidikan. Semestinya, kurikulum dibiarkan berjalan
paling tidak selama 10 tahun agar ada hasil yang diperoleh.
Sekretaris Jendral National Education Watch, Jonner Sipangkar, mengatakan bahwa
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang hanya berumur enam tahun masih
belum dapat dilihat hasilnya secara signifikan. Umumnya, negara lain membiarkan
satu kurikulum berjalan selama 10 hingga 15 tahun agar pemetaan hasilnya
terlihat jelas.
"Ini baru dua tahun diganti. Itu dari
kurikulum tahun 2004 ke 2006. Sekarang dari 2006 ke 2013, juga baru enam tahun.
Apa yang bisa dilihat? Dampaknya apa?," kata Jonner saat jumpa pers
mengenai penolakan kurikulum 2013 di Reading Room, Kemang, Jakarta.
Ia mengambil contoh negara tetangga yaitu
Singapura yang menjalankan konsep kurikulum tidak berbeda dengan Indonesia
mampu menempati posisi keempat berdasarkan hasil riset dari Pearson, PISA dan
TIMSS. Sementara Indonesia justru jauh terpuruk di peringkat bawah terkait
kualitas pendidikan.
Padahal anggaran pendidikan di Indonesia
mencapai 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jika berkaca
pada besarnya anggaran ini, maka seharusnya kualitas pendidikan di tanah air
bisa jauh lebih baik dari Singapura yang anggaran pendidikannya tidak sampai 20
persen dari anggaran nasional.
"Anggaran
di Singapura memang tidak besar. Karena untuk perubahan kurikulum itu mereka
biasanya menunggu 15 tahun. Fokusnya hanya pada peningkatan kualitas guru.
Indonesia harusnya melihat itu," tandasnya.
KOMPAS.com
| Rabu, 19 Desember 2012 |
No comments:
Post a Comment