Saturday 19 January 2013

Kurikulum 2013 Beri Kewenangan Guru


*****
Mendikbud Siapkan Buku Babon Kurikulum 2013
Mendikbud Mohammad Nuh menyatakan pihaknya telah menyiapkan "buku babon" untuk pegangan siswa dan guru dalam menerapkan kurikulum baru 2013.
"Buku itu tidak akan dibebankan kepada siswa atau sekolah, tapi akan diberikan cuma-cuma oleh Kemendikbud," katanya dalam Uji Publik Kurikulu 2013 di Surabaya, Jatim, Minggu (09/12).
Di hadapan ratusan kepala sekolah, kepala dinas pendidikan se-Jatim, ketua yayasan, ketua dewan pendidikan, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya, ia menyatakan guru juga akan ada yang disiapkan menjadi master teacher (guru utama).
"Untuk sosialisasi kurikulum 2013 itu, kami akan melatih guru kelas 1, 4, 7, dan 10 dari seluruh sekolah hingga mereka akan menjadi 'master teacher' yang akan menyosialisasikan kepada guru-guru lainnya. Kalau ada guru teladan, daftarkan ke kami," ujarnya.
Menurut menteri yang juga Guru Besar ITS Surabaya dan anggota Majelis Wali Amanah Unair Surabaya itu, kurikulum 2013 memang memberi kewenangan guru dalam metodologi pembelajaran, tapi mereka diberi buku pegangan.
"Buku babon atau buku induk yang menjadi pegangan itu akan menjelaskan metodologi pendidikan yang mendorong kreativitas siswa dalam tiga hal yakni pengetahuan, ketrampilan, dan sikap," tuturnya.
Ia mengatakan kreativitas itu akan diajarkan dengan lima pola yakni observasi (mengamati), questioning (bertanya), associating (menalar), exprerimenting (mencoba) dan networking (membentuk jejaring/ke-Indonesiaan).
"Semua pola itu akan disosialisasikan kepada seluruh guru melalui 'master teacher' dan akan tersosialisasikan dengan cara mirip MLM, terutama SD yang perubahannya bersifat tematik integralistik," tukasnya.
Dalam perubahan kurikulum itu, siswa kelas 1-3 SD memang akan diberi pola pembelajaran yang tematik integralistik, karena siswa kelas 1-3 memang ditangani seorang guru yang merupakan guru kelas.
"Nanti, guru kelas itu yang mengintegralkan pelajaran IPA dan IPS ke dalam Bahasa Indonesia dan Pancasila-PKN. Misalnya, mata pelajaran tentang air yang bersifat mengalir, tekanan air, cara aliran, standar, status, dan sebagainya," paparnya.
Apalagi, katanya, kurikulum 2013 merupakan desain minimal dalam 24 jam untuk SD yang dapat dikembangkan oleh setiap sekolah secara bebas, asalkan tidak mengurangi desain minimal yang diatur.
"Misalnya ada anak yang memiliki kelebihan tertentu, maka sekolah dapat mengembangkan potensi siswa itu secara bebas, asalkan desain minimal tidak terpengaruh," ucapnya.
Ia menambahkan perubahan kurikulum itu dilakukan bukan secara tiba-tiba, melainkan melalui RPJM (rancangan perencanaan jangka menengah) 2010-2014, Inpres, dan UU Sisdiknas itu sendiri.
Antara.com | Minggu, 9 Desember 2012 |
Wujud Tidak Pahami Pendidikan
Anggota Komisi X DPR Rohmani menyatakan, perubahan kurikulum pendidikan nasional yang dipandang terburu-buru menjadi bukti jika pemerintah tidak memahami akar persoalan pendidikan nasional.
"Pemerintah tidak memiliki analisis yang tajam dalam membedah persoalan pendidikan nasional, sehingga pemerintah gagal mendefinisikan akar pendidikan nasional," katanya usai mengikuti rapat internal Fraksi PKS DPR di Jakarta.
Menurut Rohmani anggota DPR yang membidangi masalah pendidikan, kebudayaan, olahraga dan pariwisata itu, berakibat pada kebijakan pendidikan yang parsial.
"Kegagalan dasarnya adalah pada kemampuan memotret persoalan pendidikan. Pemerintah tak mampu menjelaskan akar pendidikan nasional," katanya.
Ia menambahkan kegagalan mendefenisikan persoalan pendidikan ini mengakibatkan terjadinya pemborosan anggaran.
"Banyak anggaran negara sia-sia untuk membiayai pembuatan kebijakan yang tidak bisa menyelesaikan persoalan pendidikan nasional," katanya.
Dia menegaskan, yang terjadi pemborosan anggaran, sementara persoalan pendidikan tidak kunjung teratasi. Sedangkan akar persoalan pendidikan nasional adalah guru.
"Persoalan guru ini cukup kompleks, terutama kesejahteraan guru. Semua guru belum menikmati gaji yang layak," katanya.
Ia mengatakan bahwa sertifikasi yang diklaim meningkatkan kesejahteraan guru justru menimbulkan ketimpangan sosial di kalangan guru.
"Persoalan kualitas belum juga teratasi hingga saat ini. Belum lagi persolaan pemerataan guru, baik kuantitas dan kualitas. Persoalan guru di daerah tertinggal belum juga mampu diatasi pemerintah," katanya.
Rohmani menegaskan seharusnya pemerintah dalam memperbaiki kualitas pendidikan dimulai dari guru, karena sebaik apa pun kurikulum dan sarana pendidikan kalau tidak didukung guru yang kompeten maka tidak ada artinya.
Antara.com | Selasa, 11 Desember 2012 |
Asah Kreativitas Anak
Perubahan kurikulum yang digagas pemerintah saat ini dinilai tidak akan menghalangi penerapan pendidikan wirausaha di sekolah. Pemerintah justru diharapkan mulai mempertimbangkan untuk menggalakkan pendidikan wirausaha melalui kurikulum 2013.
"Ya saya sudah baca uji publiknya. Konsepnya bagus sekali ya. Banyak bagian untuk mengasah kreatif anak di situ. Nah semoga implementasinya lancar," ujar Manager of Professional Development Sugar Group School, Mierza Miranti, dalam National Educators Conference 2012 di Mulia Business Park, Jakarta.
"Guru harus dipersiapkan dengan baik dan dilatih untuk terbuka pada anak. Kuncinya terbuka saja sehingga anak tidak merasa dibatasi saat sedang berkreasi menyelesaikan tugas," tambahnya kemudian.
Mierza sendiri sebenarnya berpendapat bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah media yang tepat untuk mengaplikasikan pendidikan wirausaha pada siswa. Pasalnya, KTSP memungkinkan guru untuk berkreasi dalam mengajar dan mengembangkan potensi anak didik.
KTSP, lanjutnya, memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan kreativitas anak didiknya. Namun, pada kenyataannya, Mierza menilai hal ini urung terjadi karena pemahaman konsep yang kurang dari para guru menjadi kendala utama.
"KTSP ini bagus karena guru bebas membuat metode pembelajarannya. Tapi ya karena kurang jelas pemahaman implementasinya jadi mandeg," ungkapnya.
KOMPAS.com | Rabu, 12 Desember 2012 |
Dorong Anak Berpikir Ilmiah
Meski banyak meraih prestasi gemilang di kancah dunia dalam berbagai olimpiade sains dan matematika, rata-rata kemampuan berpikir anak Indonesia secara ilmiah tetap dianggap masih rendah. Hal ini sempat dimunculkan lewat penelitian Trends in International Mathematics and Science Study 2007 (TIMSS).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa kurikulum baru yang tengah menjalani fase uji publik ini bertujuan utama membangun kemampuan berpikir anak secara ilmiah. Dia yakin bahwa ini akan berdampak baik mengingat banyaknya laboratorium alami yang dapat dieksplorasi oleh anak-anak.
"Kita ini punya laboratorium terlalu banyak. Jadi semestinya bisa kita dorong lagi anak-anak ini agar mampu berpikir scientific," kata Nuh, di Jakarta.
 Dia menambahkan bahwa dengan tingginya intensitas anak melakukan observasi langsung tentang fenomena alam di lapangan, mereka dapat lebih yakin terhadap suatu hal. Selanjutnya akan muncul berbagai pertanyaan kritis dari rasa ingin tahu anak-anak ini terhadap fenomena alam yang sedang diobsevasi.
"Ini aktivitas intelektual akan berjalan. Kalau sudah begini, tinggal diajari untuk menalar sesuatu. Transfer ilmu pun terjadi," jelas Nuh.
Selama ini, anak-anak malas mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya karena kemampuan berpikir mereka dibelenggu pada hal-hal yang sifatnya biner. Intinya jika anak menjawab tidak sesuai dengan guru, maka jawaban mereka langsung disalahkan tanpa dilihat proses anak menjawab.
"Kurikulum baru ini nanti tidak boleh seperti itu. Anak diberi ruang. Sekarang kalau kurikulum nggak diubah ya nggak dapat apa-apa," tandasnya.
KOMPAS.com | Selasa, 18 Desember 2012 |

No comments:

Post a Comment