Perubahan
kurikulum yang akan mulai diterapkan pada Juni 2013 ini tak henti mendapat
hantaman dari berbagai pihak. Kini giliran Koalisi Pendidikan, yang terdiri
dari praktisi pendidikan, orangtua murid, aktivis Indonesia Corruption Watch,
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI),
menyuarakan penolakan Kurikulum 2013.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), Lody Paat, mengatakan bahwa perubahan kurikulum ini justru
membongkar keseluruhan kurikulum dalam waktu yang dinilai terburu-buru. Menurut
dia, perubahan ini juga tidak dapat menjamin pendidikan di Indonesia menjadi
lebih baik.
"Kami akan buat petisi untuk masalah
kurikulum ini. Kami menolak keras perubahan ini dan sebaiknya ditunda,"
kata Lody, saat jumpa pers di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur, Jakarta, Rabu
(5/12).
Ada enam alasan yang melandasi penolakan dari
koalisi pendidikan ini. Pertama, koalisi menilai, alasan yang dikemukan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak jelas serta tidak mendasar. Yang
kedua, perubahan kurikulum ini dinilai dilakukan secara reaktif tanpa ada visi
yang jelas mengenai pendidikan.
Alasan selanjutnya, perubahan kurikulum ini
dinilai tidak didahului dengan riset dan evaluasi terhadap pelaksanaan
kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Menurut
koalisi, semestinya, pemerintah dapat menjelaskan kekurangan dari KTSP sehingga
mengakibatkan perubahan kurikulum yang nyaris membongkar standar yang ada.
"Ini kan tidak riset main ganti saja.
Harusnya ada riset yang jelas. Apa yang jadi masalah dari KTSP. Kemudian tak
cukup uji publik, tapi diuji coba juga," ujar Lody.
Alasan keempat, para guru yang disebut
sebagai ujung tombak dari pelaksanaan kurikulum baru ini justru tidak pernah
dilibatkan dalam penyusunan kurikulum ini. Begitu pula dengan pakar pedagogik
yang seharusnya ikut serta justru tidak diajak menyusun kurikulum baru ini.
Tidak hanya itu, perubahan kurikulum ini juga
terkesan dipaksakan dan asal-asalan sehingga berakibat para guru dan murid yang
menjadi korban. Yang terakhir, perubahan kurikulum ini hanya akan menguntungkan
penerbit buku dan justru membebani orangtua murid.
"Dengan
berbagai alasan ini, kami menolak perubahan kurikulum dan mengajak masyarakat
untuk bergerak juga menolak," ujarnya.
Antara.com | 5-12-2012 |
Berharap pada Kurikulum 2013
Adagium
yang menyatakan ”ganti menteri, ganti kurikulum” tak sepenuhnya salah. Belum
semua sekolah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tahun 2006, kini
kurikulum sudah berganti lagi dengan Kurikulum 2013.
Sebelumnya juga sudah ada Kurikulum 1984 yang
menekankan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004
yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pertanyaan yang kemudian muncul, kurikulum
sering berganti, tetapi mengapa cara mengajar guru di depan kelas tidak
berubah? Guru tetap sebagai pusat pembelajaran (teacher centered learning),
sedangkan siswa hanya pasif mendengarkan. Akhirnya, timbul kesan, perubahan
kurikulum menjadi sia-sia karena tidak diikuti perubahan metode pengajaran.
”Berdasarkan pengalaman itulah, dalam
penerapan Kurikulum 2013, guru mendapat pelatihan khusus,” kata Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
Perubahan kurikulum pun, menurut Nuh, bukan
sesuatu yang ditabukan dan dilarang. Justru kurikulum harus diubah sesuai kebutuhan
dan perkembangan zaman.
Perubahan kurikulum dilakukan karena
Kurikulum 2006 dianggap masih menimbulkan berbagai fenomena negatif, seperti
beban siswa terlalu berat karena terlalu banyak pelajaran serta kurang
bermuatan karakter sehingga memunculkan plagiarisme, kecurangan, perkelahian
pelajar, dan berbagai persoalan lain.
Diramu dengan tantangan masa depan, seperti
tantangan globalisasi, persoalan lingkungan hidup, perkembangan teknologi
informasi, serta kompetensi individu yang mampu berkomunikasi, berpikir jernih
dan kritis, serta kompetensi lain, jadilah Kurikulum 2013 yang akan diterapkan
secara bertahap di SD, SMP, dan SMA.
Sebelum diterapkan, rancangan kurikulum ini
diuji publik untuk mendapat masukan dan penyempurnaan. ”Semoga saja uji publik
tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan betul-betul menyerap aspirasi yang
berkembang di masyarakat,” kata Itje Chodidjah, pelatih guru di sejumlah
sekolah.
Didiskusikan
Untuk menampung berbagai pikiran yang
berkembang di masyarakat, harian Kompas beberapa
waktu lalu juga menyelenggarakan diskusi terbatas dengan menghadirkan Wakil
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, pelatih guru Henny Supolo
Sitepu dari Yayasan Cahaya Guru, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum
Indonesia S Hamid Hasan, serta Guru Besar Matematika dan IPA Institut Teknologi
Bandung Iwan Pranoto.
Dari hasil diskusi tersebut terungkap
kekhawatiran, Kurikulum 2013 akan bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum
sebelumnya, yaitu bagus dalam tataran konsep dan bahasa kurikulum sangat indah,
tetapi sangat buruk dalam penerapan. Ambil contoh Kurikulum 1984 yang
mengharuskan siswa aktif ataupun Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi.
Dengan kurikulum itu, aktivitas belajar semestinya berpusat pada siswa.
”Kenyataannya, pola mengajar guru tidak
berubah. Guru tetap memberikan materi di depan kelas dan murid mendengarkan.
Guru tidak bisa disalahkan karena guru tidak pernah diberikan pelatihan,” kata
Henny Supolo.
Menghadapi persoalan ini, menurut Wakil
Mendikbud Musliar Kasim, guru-guru akan dilatih sebelum Kurikulum 2013
diterapkan. Kemdikbud akan memilih sekitar 40.000 guru terbaik sebagai pelatih
inti atau master trainer. Mereka selanjutnya melatih sekitar 350.000 guru
selama enam bulan.
Penerapan kurikulum pun tidak dilakukan
sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap agar tidak mengganggu pembelajaran.
Pada tahun pertama, misalnya, kurikulum akan diterapkan di kelas I dan IV SD,
kelas VII SMP, dan kelas X SMA. ”Jadi, dari sekitar 2,9 juta guru, tidak
sekaligus semua guru dilatih,” kata Mendikbud Mohammad Nuh.
Meski demikian, pelatihan ini tetap dikritik
banyak kalangan. Misalnya, tidak mudah mengubah kebiasaan guru yang selama ini
menjadi ”sumber kebenaran” dengan memberikan materi di depan kelas menjadi
pendorong siswa agar aktif, kreatif, dan memiliki semangat inovatif. Apalagi,
latar belakang pendidikan guru di Indonesia masih sangat tidak memadai. Hanya
22,6 persen guru SD yang sarjana dan tidak sampai 28 persen guru SMP yang
sarjana. Itu pun rata-rata umurnya sudah di atas 40 tahun yang tak terbiasa
mendorong kreativitas siswa.
”Bagi kami, lebih baik penerapan Kurikulum
2013 ditunda,” kata Henny Supolo.
Pemadatan pelajaran
Persoalan
yang mengemuka dalam Kurikulum 2013 adalah arah yang hendak dicapai melalui
kurikulum ini. Dalam kompetensi lulusan, misalnya, diharapkan memiliki karakter
mulia. ”Karakter mulia itu ukurannya apa? Harus lebih jelas dan tegas sehingga
semua pihak bisa mengukur apakah kompetensi sudah tercapai atau belum,” kata
Henny Supolo.
Kompas.com
| 7-12-2012 |
No comments:
Post a Comment