Friday 18 January 2013

Koalisi Pendidikan Tolak Perubahan Kurikulum


Perubahan kurikulum yang akan mulai diterapkan pada Juni 2013 ini tak henti mendapat hantaman dari berbagai pihak. Kini giliran Koalisi Pendidikan, yang terdiri dari praktisi pendidikan, orangtua murid, aktivis Indonesia Corruption Watch, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menyuarakan penolakan Kurikulum 2013.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Lody Paat, mengatakan bahwa perubahan kurikulum ini justru membongkar keseluruhan kurikulum dalam waktu yang dinilai terburu-buru. Menurut dia, perubahan ini juga tidak dapat menjamin pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.
"Kami akan buat petisi untuk masalah kurikulum ini. Kami menolak keras perubahan ini dan sebaiknya ditunda," kata Lody, saat jumpa pers di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur, Jakarta, Rabu (5/12).
Ada enam alasan yang melandasi penolakan dari koalisi pendidikan ini. Pertama, koalisi menilai, alasan yang dikemukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak jelas serta tidak mendasar. Yang kedua, perubahan kurikulum ini dinilai dilakukan secara reaktif tanpa ada visi yang jelas mengenai pendidikan.
Alasan selanjutnya, perubahan kurikulum ini dinilai tidak didahului dengan riset dan evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Menurut koalisi, semestinya, pemerintah dapat menjelaskan kekurangan dari KTSP sehingga mengakibatkan perubahan kurikulum yang nyaris membongkar standar yang ada.
"Ini kan tidak riset main ganti saja. Harusnya ada riset yang jelas. Apa yang jadi masalah dari KTSP. Kemudian tak cukup uji publik, tapi diuji coba juga," ujar Lody.
Alasan keempat, para guru yang disebut sebagai ujung tombak dari pelaksanaan kurikulum baru ini justru tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan kurikulum ini. Begitu pula dengan pakar pedagogik yang seharusnya ikut serta justru tidak diajak menyusun kurikulum baru ini.
Tidak hanya itu, perubahan kurikulum ini juga terkesan dipaksakan dan asal-asalan sehingga berakibat para guru dan murid yang menjadi korban. Yang terakhir, perubahan kurikulum ini hanya akan menguntungkan penerbit buku dan justru membebani orangtua murid.
"Dengan berbagai alasan ini, kami menolak perubahan kurikulum dan mengajak masyarakat untuk bergerak juga menolak," ujarnya.
Antara.com | 5-12-2012 |
Berharap pada Kurikulum 2013
Adagium yang menyatakan ”ganti menteri, ganti kurikulum” tak sepenuhnya salah. Belum semua sekolah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tahun 2006, kini kurikulum sudah berganti lagi dengan Kurikulum 2013.

Sebelumnya juga sudah ada Kurikulum 1984 yang menekankan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pertanyaan yang kemudian muncul, kurikulum sering berganti, tetapi mengapa cara mengajar guru di depan kelas tidak berubah? Guru tetap sebagai pusat pembelajaran (teacher centered learning), sedangkan siswa hanya pasif mendengarkan. Akhirnya, timbul kesan, perubahan kurikulum menjadi sia-sia karena tidak diikuti perubahan metode pengajaran.
”Berdasarkan pengalaman itulah, dalam penerapan Kurikulum 2013, guru mendapat pelatihan khusus,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
Perubahan kurikulum pun, menurut Nuh, bukan sesuatu yang ditabukan dan dilarang. Justru kurikulum harus diubah sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman.
Perubahan kurikulum dilakukan karena Kurikulum 2006 dianggap masih menimbulkan berbagai fenomena negatif, seperti beban siswa terlalu berat karena terlalu banyak pelajaran serta kurang bermuatan karakter sehingga memunculkan plagiarisme, kecurangan, perkelahian pelajar, dan berbagai persoalan lain.
Diramu dengan tantangan masa depan, seperti tantangan globalisasi, persoalan lingkungan hidup, perkembangan teknologi informasi, serta kompetensi individu yang mampu berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, serta kompetensi lain, jadilah Kurikulum 2013 yang akan diterapkan secara bertahap di SD, SMP, dan SMA.
Sebelum diterapkan, rancangan kurikulum ini diuji publik untuk mendapat masukan dan penyempurnaan. ”Semoga saja uji publik tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan betul-betul menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat,” kata Itje Chodidjah, pelatih guru di sejumlah sekolah.

Didiskusikan
Untuk menampung berbagai pikiran yang berkembang di masyarakat, harian Kompas beberapa waktu lalu juga menyelenggarakan diskusi terbatas dengan menghadirkan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, pelatih guru Henny Supolo Sitepu dari Yayasan Cahaya Guru, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia S Hamid Hasan, serta Guru Besar Matematika dan IPA Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto.
Dari hasil diskusi tersebut terungkap kekhawatiran, Kurikulum 2013 akan bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, yaitu bagus dalam tataran konsep dan bahasa kurikulum sangat indah, tetapi sangat buruk dalam penerapan. Ambil contoh Kurikulum 1984 yang mengharuskan siswa aktif ataupun Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi. Dengan kurikulum itu, aktivitas belajar semestinya berpusat pada siswa.
”Kenyataannya, pola mengajar guru tidak berubah. Guru tetap memberikan materi di depan kelas dan murid mendengarkan. Guru tidak bisa disalahkan karena guru tidak pernah diberikan pelatihan,” kata Henny Supolo.
Menghadapi persoalan ini, menurut Wakil Mendikbud Musliar Kasim, guru-guru akan dilatih sebelum Kurikulum 2013 diterapkan. Kemdikbud akan memilih sekitar 40.000 guru terbaik sebagai pelatih inti atau master trainer. Mereka selanjutnya melatih sekitar 350.000 guru selama enam bulan.
Penerapan kurikulum pun tidak dilakukan sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap agar tidak mengganggu pembelajaran. Pada tahun pertama, misalnya, kurikulum akan diterapkan di kelas I dan IV SD, kelas VII SMP, dan kelas X SMA. ”Jadi, dari sekitar 2,9 juta guru, tidak sekaligus semua guru dilatih,” kata Mendikbud Mohammad Nuh.
Meski demikian, pelatihan ini tetap dikritik banyak kalangan. Misalnya, tidak mudah mengubah kebiasaan guru yang selama ini menjadi ”sumber kebenaran” dengan memberikan materi di depan kelas menjadi pendorong siswa agar aktif, kreatif, dan memiliki semangat inovatif. Apalagi, latar belakang pendidikan guru di Indonesia masih sangat tidak memadai. Hanya 22,6 persen guru SD yang sarjana dan tidak sampai 28 persen guru SMP yang sarjana. Itu pun rata-rata umurnya sudah di atas 40 tahun yang tak terbiasa mendorong kreativitas siswa.
”Bagi kami, lebih baik penerapan Kurikulum 2013 ditunda,” kata Henny Supolo.

Pemadatan pelajaran
Persoalan yang mengemuka dalam Kurikulum 2013 adalah arah yang hendak dicapai melalui kurikulum ini. Dalam kompetensi lulusan, misalnya, diharapkan memiliki karakter mulia. ”Karakter mulia itu ukurannya apa? Harus lebih jelas dan tegas sehingga semua pihak bisa mengukur apakah kompetensi sudah tercapai atau belum,” kata Henny Supolo.
Kompas.com | 7-12-2012 |

No comments:

Post a Comment