Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh mengatakan peleburan atau penyederhaan mata pelajaran IPA-IPS di
jenjang sekolah dasar (SD) tidak akan mengurangi substansi pengetahuan yang
didapat oleh peserta didik.
“Peleburan
mata pelajaran IPA-IPS tidak akan mengurangi subtansi pengetahuan, karena tetap
diajarkan yang diintegrasikan dengan tema-tema,” kata Mohammad Nuh dalam jumpa
pers dengan wartawan di Jakarta, Kamis (6/12/12).
Menurut
dia, salah satu ciri kurikulum 2013, khususnya untuk SD, adalah bersifat
tematik integratif. Artinya, pembelajaran yang dirancang berdasarkan tema-tema
tertentu.
“Dalam
pembahasannya tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran. Sebagai contoh,
tema energi dapat diajarkan bagaimana pembangkit listrik dimanfaatkan dengan
aliran sungai dan menggunakan Bahasa Indonesia,” paparnya.
Ia
melanjutkan bahan yang menjadi obyek pelajaran yaitu, fenomena sosial, budaya,
dan alam.
Usia
anak-anak di SD yang dibutuhkan, kata dia, adalah keutuhan berpikir atau
diajarkan bagaimana berpikir secara holistik.
“Mereka
tidak diajarkan pendidikan spesialis, tapi pendidikan secara
holistik,”
ucapnya.
Untuk
tingkat SD, lanjut dia, saat ini ada 10 mata pelajaran yang diajari, yaitu
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika,
IPA, IPS, seni budaya dan keterampilan, pendidikan jasmani olahraga dan
kesehatan, serta muatan lokal dan pengembangan diri.
“Beban
pelajaran sekolah yang dipikul anak-anak sekarang terlalu berat,” tuturnya.
Sebelumnya,
Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta Sam
Mukhtar Chaniago, mengatakan penggabungan mata pelajaran IPA dengan mata
pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 dianggap tidak
fokus.
“Belajar
bahasa itu bisa masuk ke sains ataupun ilmu sosial. Jangan dibalik, Bahasa
Indonesia memakai konsep sains atau ilmu pengetahuan sosial,” ujar Sam Mukhtar
Chaniago, dalam diskusi di Jakarta, Senin (3/12).
Sementara
itu, Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto, mengatakan
jika IPA atau IPS diajarkan ke dalam Bahasa Indonesia, perlu dipertanyakan
pengukurannya. Perlu diperjelas apakah pembelajaran tersebut berdasarkan kaidah
bahasa atau sains.
“Bangsa ini perlu menguatkan
pendidikan dalam sains, teknologi, teknik, seni, dan rekayasa. Hal ini bisa
menjadi modal bangsa untuk memajukan peradaban,” kata dia.
Antara.com | Kamis, 6 Desember 2012 |
*****
Pendidikan IPA SD Perlu Tersendiri
Penggabungan IPA dalam mata pelajaran lain
seperti Bahasa Indonesia di jenjang Sekolah Dasar masih menuai pro-kontra.
Namun, dari berbagai masukan soal struktur kurikulum di SD, pendidikan sains
dirasakan tetap perlu ditonjolkan sebagai mata pelajaran tersendiri.
"Kalau kita cermati kurikulum 2013,
pendidikan sains di jenjang dasar sampai menengah jadi terkesan tidak nyambung.
Di jenjang SD, keinginan pemerintah sepertinya ingin sains terintegrasi di
pelajaran lain, seperti Bahasa Indonesia. Tetapi jenjang SMA nanti yang diminta
kompetensi metakognisi atau melampaui kognitif," kata Nuryani Y Rustaman,
Ketua Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia yang dihubungi dari Jakarta,
Jumat (14/12).
Menurut Nuryani, pendidikan sains tetap perlu
diperkenalkan sebagai mata pelajaran tersendiri sejak di SD. Tentu saja,
pembelajaran sains di SD yang saat ini dikeluhkan berat harus diubah sedemikian
rupa sehingga jadi menyenangkan.
"Mengapa sains terasa berat buat anak SD
karena yang diajarkan selama ini pengetahuannya atau hafalannya. Adapun proses
untuk membuat siswa jadi menyenangi pelajaran sains dan terbentuk budaya
ilmiahnya selama proses belajar sains memang terbaikan," kata Nuryani.
Nuryani menambahkan, dalam pembelajaran sains
siswa perlu mengalami sendiri lewat penelitian sederhana. "Dikhawatirkan,
nanti IPA kembali jadi pengetahuan semata lewat membaca buku teks kalau IPA
dititipkan ke Bahasa Indonesia," kata Nuryani.
Trend dunia pun saat ini memang mengutamakan
pendidikan sains yang diperkenalkan sejak dini. Penilaian-penilaian di dunia
juga mengukur sains, seperti Indonesia yang mengikuti penilaian PISA dan TIMSS
yang menekankan literasi matematika, sains, dan bahasa, tentu perlu fokus.
Soal pembelajaran sains di SD, pemerintah
memberikan tiga alternatif di kurikulum 2013. Alternatif pertama, tidak ada
mata pelajaran sains karena terintegrasi di pelajaran lain, yakni Bahasa
Indonesia dan Matematika.
Selain itu, semua pembelajaran tematik
integratif di SD dilaksanakan dengan pendekatan sains yakni siswa mengamati,
menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
Alternatif kedua, mata pelajaran IPA
diperkenalkan mulai kelas IV - VI. Adapun alternatif ketiga di kelas V-VI.
"Kami memperjuangkan supaya IPA dimulai
sedini mungkin. Jika pemerintah bersikeras, kami memperjuangkan alternatif
kedua, yakni dimulai dari kelas IV SD," jelas Nuryani.
Nuryani justru mengkritisi keinginan
pemerintah yang ingin menguatkan karakter siswa dengan menambah jam pelajaran
di PPKn dan Agama. "Pendidikan sains juga dapat membentuk budaya ilmiah
siswa. Ini jangan diartikan bahwa inetelektualitasnya saja yang diutamakan,
tetapi karakter siswa yang ilmiah juga terbentuk," ujar Nuryani.
Dengan dikembangkannya sikap ilmiah siswa
lewat pembelajaran sains yang benar, lanjut Nuryana, siswa dapat mengembangkan
sikap ingin tahu dan senantiasa mendahulukan bukti. Selain itu, siswa menjadi
luwes terhadap gagasan baru, menerenung secara kritis, dan peka/peduli terhadap
mahluk hidup dan lingkungan.
Sementara itu, Suhertuti, dosen di jurusan
bahasa dan sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahasa itu
sebagai alat untuk mempelajari apa saja. "Jadi, tidak masalah belajar
bahasa diintegrasikan ke mata pelakaran lain, malah lebih bagus. Tetapi tentu
saja untuk di SD fokusnya bukan mengajarkan bahasa-bahasa ilmiah atau menulis
ilmiah. tetap bisa fokus ke IPA-nya, kata Suhertuti.
Menurut Suhertuti, dalam pengintegrasian
bahasa dan mata pelajaran lain, perlu kemampuan guru untuk kreatif dalam
pembelajaran. Selain itu, harus jelas kompetensi penilaian yang dikehendaki
sehingga pengintegrasian tersebut bermakna yang membuat siswa semakin memahami
konsep IPA secara menyenangkan.
Khairil Anwar Notodipuro, Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian dan Kebudayaan, mengatakan meskipun IPA
atau IPS terintegrasi sebenarnya secara substansi tidak akan hilang. Pembelajaran
tematik integratif dilaksanakan dengan pendekatan sains dan memfokuskan pada
fenomena alam, sosial dan budaya sebagai obyek pembelajaran.
"Pemerintah sedang meminta masukan
mana yang terbaik. Karena itu, kami berharap bukan cuma kritikan dan opini, tetapi
solusi yang pas untuk penyempurnaan kurikulum 2013," demikian kata
Khairil.
*****
IPA-IPS
Mestinya Jadi Mata Pelajaran Sendiri
Tidak munculnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai mata pelajaran sendiri dalam struktur
kurikulum untuk jenjang sekolah dasar (SD) masih terus menjadi perdebatan.
Banyak pihak yang menuntut agar dua mata pelajaran ini tetap berdiri sendiri
sebagai mata pelajaran.
Praktisi Pendidikan dari Universitas
Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa mata pelajaran IPA dan IPS semestinya
tidak diintegrasikan begitu saja pada mata pelajaran lain. Menurutnya, ilmu
yang ada dalam dua mata pelajaran tersebut justru yang mendorong pola pikir
anak terbentuk.
"Sains ini membentuk pikiran anak untuk
masa depan, tapi justru dikeluarkan," kata Zein, saat Focus Group Discussion Menyoal Kurikulum 2013 di Gedung Dakwah
Muhammadiyah, Jakarta.
"Indonesia ini kan cenderung ada di alam
mistis, jadi butuh fakta-fakta nyata seperti yang muncul dalam sains,"
imbuh Zein.
Untuk itu, pola berpikir scientific ini
semestinya ditanamkan sejak dini, yaitu sejak jenjang SD. Namun, dengan adanya
perombakan kurikulum yang hanya mewajibkan enam mata pelajaran tanpa IPA dan
IPS di dalamnya, pola pikir tersebut sulit terbentuk.
"SD perlu penanaman berpikir scientific
sejak dini, tapi dengan kurikulum baru ini jadi nggak nyambung," ujar
Zein.
Ia memberi contoh jika pelajaran IPA dengan
Bahasa Indonesia diintegrasikan melalui tugas membuat tulisan tentang salah
satu fenomena alam, belum tentu sasaran yang diharapkan dari integrasi tersebut
akan tercapai dengan sempurna.
"Misalnya
menjelaskan nilai scientific dengan pola kalimat yang baik dan benar. Bisa
saja, tapi kalau gagal melaksanakan itu, nilai yang penting justru akan
terbengkalai," tandasnya.
Antara.com
| November-Desember 2012 |
*****
Sains
Diajarkan Kelas IV SD
Pendidikan sains atau Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) sebagai mata pelajaran tersendiri diajarkan mulai kelas IV hingga VI
SD. Adapun di kelas I, II, dan III SD, pendidikan sains diintegrasikan dengan
mata pelajaran Bahasa Indonesia secara tematik dan integratif.
“Saat
uji publik, masyarakat menginginkan mata pelajaran IPA dimulai kelas IV hingga
VI SD. Dukungan juga salah satunya dari narasumber pengembangan Kurikulum 2013,”
kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim
dalam rapat dengar pendapat antara pemerintah dan Panitia Kerja (Panja)
Kurikulum Komisi X DPR di Jakarta.
Musliar
menjelaskan, Kurikulum 2013 bukanlah kurikulum yang baru sama sekali, melainkan
pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku selama ini.
“Penyempurnaan
Kurikulum 2013, antara lain, mengacu pada Trends in International Mathematics
and Science Study (TIMSS) serta Programme for International Student Assessment
(PISA) dengan menambahkan materi dan kompetensi yang mengacu ke standar yang
dilaksanakan negara-negara maju,” kata Musliar.
S
Hamid Hasan dari Tim Inti Pengembangan Kurikulum 2013 mengatakan,
pengintegrasian IPA dengan pelajaran lain di kelas I, II, dan III SD
dimaksudkan agar siswa memahami konsep pendidikan IPA dalam kehidupan
masyarakat.
Sementar
itu, dalam Desain Induk Kurikulum 2013 yang diserahkan ke DPR, dinyatakan
pelajaran IPA di kelas IV SD alokasi waktunya tiga jam per minggu, sementara
dalam pelajaran seni budaya dan prakarya, termasuk juga muatan lokal yang dapat
memuat bahasa daerah. Pengajaran bahasa daerah dalam muatan lokal diserahkan ke
setiap sekolah atau daerah.
Yohanes
Surya, fisikawan dan pendiri Surya Institute, menyambut baik jika akhirnya
pelajaran IPA ditetapkan sebagai mata pelajaran sendiri sejak kelas IV SD. “Awalnya
pemerintah menginginkan semua mata pelajaran di SD diajarkan secara
tematik-integratif. Namun, kami memandang perlu pelajaran IPA diajarkan
tersendiri. Kami memperjuangkan setidaknya diajarkan sejak kelas IV SD.
Keputusan pemerintah kami sambut baik,” kata Yohanes.
Menurut
Yohanes, jika IPA tidak diajarkan sejak SD, tidak ada kesempatan bagi siswa yang
menyukai sains untuk mendalaminya. Padahal, pembelajaran IPA bagi anak-anak
bisa dibuat menarik sehingga sejak dini anak tertantang untuk bisa menjadi
ilmuwan sains.
Nuryani
Y Rustaman, Ketua Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia, mengatakan, IPA harus
diajarkan secara terpisah sejak SD, apalagi kemampuan sains anak Indonesia
masih rendah. Jika keluhannya selama ini pelajaran IPA terlalu berat, solusinya
materi pelajaran yang perlu diubah dengan banyak praktik sehingga menyenangkan
siswa. “Bukan malah dihapus atau diintegrasikan," ungkap Nuryani.
Sebelumnya, Panja Kurikulum
DPR mendesak pemerintah segera menyerahkan desain induk dan dokumen resmi
Kurikulum 2013. "Pemerintah juga harus berani membuka anggaran soal
kurikulum,” kata Ferdiansyah, anggota Panja Kurikulum Komisi X DPR.
KOMPAS.com | Rabu, 16 Januari 2013 |
No comments:
Post a Comment