Friday 18 January 2013

Peleburan IPA-IPS Tidak Kurangi Substansi


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan peleburan atau penyederhaan mata pelajaran IPA-IPS di jenjang sekolah dasar (SD) tidak akan mengurangi substansi pengetahuan yang didapat oleh peserta didik.
“Peleburan mata pelajaran IPA-IPS tidak akan mengurangi subtansi pengetahuan, karena tetap diajarkan yang diintegrasikan dengan tema-tema,” kata Mohammad Nuh dalam jumpa pers dengan wartawan di Jakarta, Kamis (6/12/12).
Menurut dia, salah satu ciri kurikulum 2013, khususnya untuk SD, adalah bersifat tematik integratif. Artinya, pembelajaran yang dirancang berdasarkan tema-tema tertentu.
“Dalam pembahasannya tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran. Sebagai contoh, tema energi dapat diajarkan bagaimana pembangkit listrik dimanfaatkan dengan aliran sungai dan menggunakan Bahasa Indonesia,” paparnya.
Ia melanjutkan bahan yang menjadi obyek pelajaran yaitu, fenomena sosial, budaya, dan alam.
Usia anak-anak di SD yang dibutuhkan, kata dia, adalah keutuhan berpikir atau diajarkan bagaimana berpikir secara holistik.
“Mereka tidak diajarkan pendidikan spesialis, tapi pendidikan secara
holistik,” ucapnya.
Untuk tingkat SD, lanjut dia, saat ini ada 10 mata pelajaran yang diajari, yaitu pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, seni budaya dan keterampilan, pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, serta muatan lokal dan pengembangan diri.
“Beban pelajaran sekolah yang dipikul anak-anak sekarang terlalu berat,” tuturnya.
Sebelumnya, Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta Sam Mukhtar Chaniago, mengatakan penggabungan mata pelajaran IPA dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 dianggap tidak
fokus.
“Belajar bahasa itu bisa masuk ke sains ataupun ilmu sosial. Jangan dibalik, Bahasa Indonesia memakai konsep sains atau ilmu pengetahuan sosial,” ujar Sam Mukhtar Chaniago, dalam diskusi di Jakarta, Senin (3/12).
Sementara itu, Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto, mengatakan jika IPA atau IPS diajarkan ke dalam Bahasa Indonesia, perlu dipertanyakan pengukurannya. Perlu diperjelas apakah pembelajaran tersebut berdasarkan kaidah bahasa atau sains.
“Bangsa ini perlu menguatkan pendidikan dalam sains, teknologi, teknik, seni, dan rekayasa. Hal ini bisa menjadi modal bangsa untuk memajukan peradaban,” kata dia.
Antara.com | Kamis, 6 Desember 2012 |
*****
Pendidikan IPA SD Perlu Tersendiri
Penggabungan IPA dalam mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia di jenjang Sekolah Dasar masih menuai pro-kontra. Namun, dari berbagai masukan soal struktur kurikulum di SD, pendidikan sains dirasakan tetap perlu ditonjolkan sebagai mata pelajaran tersendiri.
"Kalau kita cermati kurikulum 2013, pendidikan sains di jenjang dasar sampai menengah jadi terkesan tidak nyambung. Di jenjang SD, keinginan pemerintah sepertinya ingin sains terintegrasi di pelajaran lain, seperti Bahasa Indonesia. Tetapi jenjang SMA nanti yang diminta kompetensi metakognisi atau melampaui kognitif," kata Nuryani Y Rustaman, Ketua Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (14/12).
Menurut Nuryani, pendidikan sains tetap perlu diperkenalkan sebagai mata pelajaran tersendiri sejak di SD. Tentu saja, pembelajaran sains di SD yang saat ini dikeluhkan berat harus diubah sedemikian rupa sehingga jadi menyenangkan.
"Mengapa sains terasa berat buat anak SD karena yang diajarkan selama ini pengetahuannya atau hafalannya. Adapun proses untuk membuat siswa jadi menyenangi pelajaran sains dan terbentuk budaya ilmiahnya selama proses belajar sains memang terbaikan," kata Nuryani.
Nuryani menambahkan, dalam pembelajaran sains siswa perlu mengalami sendiri lewat penelitian sederhana. "Dikhawatirkan, nanti IPA kembali jadi pengetahuan semata lewat membaca buku teks kalau IPA dititipkan ke Bahasa Indonesia," kata Nuryani.
Trend dunia pun saat ini memang mengutamakan pendidikan sains yang diperkenalkan sejak dini. Penilaian-penilaian di dunia juga mengukur sains, seperti Indonesia yang mengikuti penilaian PISA dan TIMSS yang menekankan literasi matematika, sains, dan bahasa, tentu perlu fokus.
Soal pembelajaran sains di SD, pemerintah memberikan tiga alternatif di kurikulum 2013. Alternatif pertama, tidak ada mata pelajaran sains karena terintegrasi di pelajaran lain, yakni Bahasa Indonesia dan Matematika.
Selain itu, semua pembelajaran tematik integratif di SD dilaksanakan dengan pendekatan sains yakni siswa mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
Alternatif kedua, mata pelajaran IPA diperkenalkan mulai kelas IV - VI. Adapun alternatif ketiga di kelas V-VI.
"Kami memperjuangkan supaya IPA dimulai sedini mungkin. Jika pemerintah bersikeras, kami memperjuangkan alternatif kedua, yakni dimulai dari kelas IV SD," jelas Nuryani.
Nuryani justru mengkritisi keinginan pemerintah yang ingin menguatkan karakter siswa dengan menambah jam pelajaran di PPKn dan Agama. "Pendidikan sains juga dapat membentuk budaya ilmiah siswa. Ini jangan diartikan bahwa inetelektualitasnya saja yang diutamakan, tetapi karakter siswa yang ilmiah juga terbentuk," ujar Nuryani.
Dengan dikembangkannya sikap ilmiah siswa lewat pembelajaran sains yang benar, lanjut Nuryana, siswa dapat mengembangkan sikap ingin tahu dan senantiasa mendahulukan bukti. Selain itu, siswa menjadi luwes terhadap gagasan baru, menerenung secara kritis, dan peka/peduli terhadap mahluk hidup dan lingkungan.
Sementara itu, Suhertuti, dosen di jurusan bahasa dan sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahasa itu sebagai alat untuk mempelajari apa saja. "Jadi, tidak masalah belajar bahasa diintegrasikan ke mata pelakaran lain, malah lebih bagus. Tetapi tentu saja untuk di SD fokusnya bukan mengajarkan bahasa-bahasa ilmiah atau menulis ilmiah. tetap bisa fokus ke IPA-nya, kata Suhertuti.
Menurut Suhertuti, dalam pengintegrasian bahasa dan mata pelajaran lain, perlu kemampuan guru untuk kreatif dalam pembelajaran. Selain itu, harus jelas kompetensi penilaian yang dikehendaki sehingga pengintegrasian tersebut bermakna yang membuat siswa semakin memahami konsep IPA secara menyenangkan.
Khairil Anwar Notodipuro, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian dan Kebudayaan, mengatakan meskipun IPA atau IPS terintegrasi sebenarnya secara substansi tidak akan hilang. Pembelajaran tematik integratif dilaksanakan dengan pendekatan sains dan memfokuskan pada fenomena alam, sosial dan budaya sebagai obyek pembelajaran. 
"Pemerintah sedang meminta masukan mana yang terbaik. Karena itu, kami berharap bukan cuma kritikan dan opini, tetapi solusi yang pas untuk penyempurnaan kurikulum 2013," demikian kata Khairil.
*****
 IPA-IPS Mestinya Jadi Mata Pelajaran Sendiri
Tidak munculnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai mata pelajaran sendiri dalam struktur kurikulum untuk jenjang sekolah dasar (SD) masih terus menjadi perdebatan. Banyak pihak yang menuntut agar dua mata pelajaran ini tetap berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.
Praktisi Pendidikan dari Universitas Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa mata pelajaran IPA dan IPS semestinya tidak diintegrasikan begitu saja pada mata pelajaran lain. Menurutnya, ilmu yang ada dalam dua mata pelajaran tersebut justru yang mendorong pola pikir anak terbentuk.
"Sains ini membentuk pikiran anak untuk masa depan, tapi justru dikeluarkan," kata Zein, saat Focus Group Discussion Menyoal Kurikulum 2013 di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.
"Indonesia ini kan cenderung ada di alam mistis, jadi butuh fakta-fakta nyata seperti yang muncul dalam sains," imbuh Zein.
Untuk itu, pola berpikir scientific ini semestinya ditanamkan sejak dini, yaitu sejak jenjang SD. Namun, dengan adanya perombakan kurikulum yang hanya mewajibkan enam mata pelajaran tanpa IPA dan IPS di dalamnya, pola pikir tersebut sulit terbentuk.
"SD perlu penanaman berpikir scientific sejak dini, tapi dengan kurikulum baru ini jadi nggak nyambung," ujar Zein.
Ia memberi contoh jika pelajaran IPA dengan Bahasa Indonesia diintegrasikan melalui tugas membuat tulisan tentang salah satu fenomena alam, belum tentu sasaran yang diharapkan dari integrasi tersebut akan tercapai dengan sempurna.
"Misalnya menjelaskan nilai scientific dengan pola kalimat yang baik dan benar. Bisa saja, tapi kalau gagal melaksanakan itu, nilai yang penting justru akan terbengkalai," tandasnya.
Antara.com | November-Desember 2012 |


*****
Sains Diajarkan Kelas IV SD
Pendidikan sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai mata pelajaran tersendiri diajarkan mulai kelas IV hingga VI SD. Adapun di kelas I, II, dan III SD, pendidikan sains diintegrasikan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia secara tematik dan integratif.
“Saat uji publik, masyarakat menginginkan mata pelajaran IPA dimulai kelas IV hingga VI SD. Dukungan juga salah satunya dari narasumber pengembangan Kurikulum 2013,” kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim dalam rapat dengar pendapat antara pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) Kurikulum Komisi X DPR di Jakarta.
Musliar menjelaskan, Kurikulum 2013 bukanlah kurikulum yang baru sama sekali, melainkan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku selama ini.
“Penyempurnaan Kurikulum 2013, antara lain, mengacu pada Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) serta Programme for International Student Assessment (PISA) dengan menambahkan materi dan kompetensi yang mengacu ke standar yang dilaksanakan negara-negara maju,” kata Musliar.
S Hamid Hasan dari Tim Inti Pengembangan Kurikulum 2013 mengatakan, pengintegrasian IPA dengan pelajaran lain di kelas I, II, dan III SD dimaksudkan agar siswa memahami konsep pendidikan IPA dalam kehidupan masyarakat.
Sementar itu, dalam Desain Induk Kurikulum 2013 yang diserahkan ke DPR, dinyatakan pelajaran IPA di kelas IV SD alokasi waktunya tiga jam per minggu, sementara dalam pelajaran seni budaya dan prakarya, termasuk juga muatan lokal yang dapat memuat bahasa daerah. Pengajaran bahasa daerah dalam muatan lokal diserahkan ke setiap sekolah atau daerah.
Yohanes Surya, fisikawan dan pendiri Surya Institute, menyambut baik jika akhirnya pelajaran IPA ditetapkan sebagai mata pelajaran sendiri sejak kelas IV SD. “Awalnya pemerintah menginginkan semua mata pelajaran di SD diajarkan secara tematik-integratif. Namun, kami memandang perlu pelajaran IPA diajarkan tersendiri. Kami memperjuangkan setidaknya diajarkan sejak kelas IV SD. Keputusan pemerintah kami sambut baik,” kata Yohanes.
Menurut Yohanes, jika IPA tidak diajarkan sejak SD, tidak ada kesempatan bagi siswa yang menyukai sains untuk mendalaminya. Padahal, pembelajaran IPA bagi anak-anak bisa dibuat menarik sehingga sejak dini anak tertantang untuk bisa menjadi ilmuwan sains.
Nuryani Y Rustaman, Ketua Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia, mengatakan, IPA harus diajarkan secara terpisah sejak SD, apalagi kemampuan sains anak Indonesia masih rendah. Jika keluhannya selama ini pelajaran IPA terlalu berat, solusinya materi pelajaran yang perlu diubah dengan banyak praktik sehingga menyenangkan siswa. “Bukan malah dihapus atau diintegrasikan," ungkap Nuryani.
Sebelumnya, Panja Kurikulum DPR mendesak pemerintah segera menyerahkan desain induk dan dokumen resmi Kurikulum 2013. "Pemerintah juga harus berani membuka anggaran soal kurikulum,” kata Ferdiansyah, anggota Panja Kurikulum Komisi X DPR.
 KOMPAS.com | Rabu, 16 Januari 2013 |

No comments:

Post a Comment