*****
MK Bubarkan Status RSBI dan SBI
Mahkamah Konstitusi (MK) resmi membubarkan
status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar
Internasional (SBI). Pengabulan gugatan tentang status RSBI dan SBI
mengharuskan pemerintah untuk segera mencabut status-status tersebut dari sekolah-sekolah
yang sudah mengenakannya. Segala mekanisme dan pembiayaan terkait RSBI juga
harus dibatalkan.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Akil
Mochtar, mengatakan, RSBI yang sudah ada kembali menjadi sekolah biasa. Segala bentuk
biaya tambahan terkait RSBI juga harus dibatalkan.
“RSBI yang sudah ada kembali menjadi sekolah
biasa. Pungutan yang sebelumnya ada di SBI juga harus dibatalkan,” tuturnya
saat berbincang di ruang pers MK, Jakarta, Selasa (8/1).
Keberadaan status RSBI dan SBI, lanjutnya,
dan pembiayaan yang mahal merupakan bentuk ketidakadilan terhadap hak untuk
memperoleh pendidikan yang setara. Menurut Akil, ini bertentangan dengan
konstitusi.
“Hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu yang
mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI dan SBI yang merupakan sekolah kaya atau
elit. Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki
kesempatan diterima di sekolah umum (sekolah miskin),” kata Akil.
Karena itu, MK mengabulkan permohonan uji
materi Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas). Dengan dikabulkannya uji materi tersebut, RSBI dan SBI resmi
dibubarkan oleh MK.
Dalam
pembacaan amar putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan Pasal
50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat.
Alasan MK Batalkan Status RSBI/ SBI
Juru Bicara mahkamah Konstitusi (MK), Akil
Mochtar mengungkapkan alasan MK mengabulkan gugatan terhadap status Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional
(SBI), karena status-status tersebut memunculkan diskriminasi dalam pendidikan
dan membuat sekat antara lembaga pendidikan.
“Penggolongan kasta dalam sekolah seperti
SBI, RSBI dan Sekolah Reguler itu bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan
konstitusi,” kata Akil.
Akil menambahkan, RSBI yang sudah ada kembali
menjadi sekolah biasa. Pungutan karena sistem RSBI, lanjutnya, juga harus
dibatalkan. Pasalnya, pungutnan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan
terhadap hak untuk memperoleh pendidikan yang setara.
Selain faktor biaya mahal, penekanan bahasa
Inggris bagi siswa di sekolah RSBI atau SBI dinilai sebagai bentuk
pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928. Sumpah pemuda tersebut dalam
salah satu ikrarnya menyatakan “menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu
bahasa Indonesia.” Sebab itu, lanjut Akil, seluruh sekolah di Indonesia
seharusnya menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.
“Adanya
aturan bahwa bahasa Indonesia hanya dipergunakan sebagai bahasa pengantar untuk
di beberapa mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama,
Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal di RSBI/SBI,
maka sesungguhnya keberadaan RSBI atau SBI secara sengaja mengabaikan peranan
bahasa Indonesia dan bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan
bahasa negara adalah bahasa Indonesia,” jelas Akil Mochtar.
KOMPAS.com | Selasa, 8
Januari 2013 |
*****
FGII: RSBI Lunturkan Semangat Kebangsaan
Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) menyambut
baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa sekolah berstatus rintisan sekolah
berstandar internasional (RSBI) bertentangan dengan undang-undang, dan dinilai
keberadaannya melunturkan semangat kebangsaan.
“Sebagai salah satu organisasi profesi guru
yang ikut mengajukan gugatan, FGII menyambut baik dan memberikan apresiasi
tinggi terhadap keputusan MK pada 8 Januari 2013 itu,” kata Ketua Umum FGII
Gino Vanollie, dan Sekretaris Jenderal FGII Iwan Hermawan melalui siaran
persnya, Kamis (10/1).
MK mengabulkan gugatan terhadap pasal 50 ayat
3 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan menyatakan bahwa
RSBI bertentangan dengan konstitusi karena RSBI menyebabkan diskriminasi dan
kastanisasi dalam pendidikan.
Sedangkan konstitusi mengamanatkan agar
setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama, tanpa diskriminasi.
“Meskipun ada kuota 20 persen untuk peserta
didik dari kalangan tidak mampu, tetapi dalam kenyataannya hal ini tidak
menghilangkan diskriminasi,” katanya.
Selain perbedaan latar belakang sosial-ekonomi,
tidak tertutup kemungkinan secara psikologis, peserta didik yang berasal dari
kalangan tidak mampu juga minder, kurang percaya diri ketika bergaul dengan
teman-temannya yang berasal dari kalangan the
have.
Selain itu, penggunaan bahasa Inggris (bilingual) pada pembelajaran juga
dinilai kurang efektif dan telah melunturkan semangat kebangsaan serta jati
diri bangsa di kalangan generasi muda.
“Bahwa pada awalnya pemerintah berniat baik
dengan menyelenggarakan RSBI, yaitu untuk menghadapi persaingan global yang
semakin ketat perlu lembaga pendidikan yang berstandar internasional,” ujarnya
lagi.
Tetapi dalam kenyataannya, RSBI justru
menjadi eksklusif, terjadi kastanisasi dan diskriminasi. RSBI hanya bisa
diakses oleh kalangan orang kaya, sementara kalangan kurang mampu meskipun
secara aturan diberikan kuota, tetapi relatif kurang terakomodir.
Bagi sebagian pihak, RSBI hanya menjadi
cerminan komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Selain menerima BOS, RSBI
juga diperbolehkan untuk memungut biaya dari orang tua siswa. Oleh karena itu,
dirasa memberatkan sehingga dituntut untuk dihapus.
Ada beberapa alasan FGII ikut menggugat
terhadap status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah
Berstandar Internasional (SBI).
Pertama, demikian Gino dan Iwan, status
tersebut memunculkan diskriminasi dalam pendidikan dan membuat sekat antara
lembaga pendidikan.
Penggolongan kasta dalam sekolah seperti RSBI dan sekolah reguler itu bentuk
diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, pungutan sistem RSBI juga harus
dibatalkan mengingat pungutan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan terhadap
hak untuk memperoleh pendidikan yang setara.
“Hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu
yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI atau SBI yang merupakan sekolah
kaya atau elit,” ujar dia.
Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau
tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum (sekolah
miskin).
Ketiga, penekanan bahasa Inggris bagi siswa
di sekolah RSBI atau SBI dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Sumpah
Pemuda tahun 1928.
Sumpah pemuda tersebut dalam salah satu
ikrarnya menyatakan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Sebab itu, seluruh
sekolah di Indonesia seharusnya menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.
Adanya aturan bahwa bahasa Indonesia hanya
dipergunakan sebagai pengantar untuk di beberapa mata pelajaran di RSBI/SBI,
maka sesungguhnya keberadaan RSBI atau SBI secara sengaja mengabaikan peranan
bahasa Indonesia dan bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan
bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
“Oleh
karena itu, FGII menyambut baik kepusan MK mengenai penghapusan RSBI,” demikian
Gino dan Iwan.
Antara.com | Jumat, 11
Januari 2013 | LAMPUNG EKSPRES plus | Sabtu, 12-11-2013 |
*****
Nasionalisme Tidak Terkait Bahasa Asing
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad
Nuh mengatakan nasionalisme tak ada kaitannya dengan penggunaan bahasa asing
dalam pergaulan sehari-hari.
"Salah satu pertimbangan Mahkamah
Konstitusi (MK) menghapuskan RSBI adalah penggunaan bahasa asing. Padahal,
kalau menurut saya tidak ada kaitannya dengan nasionalisme," Mendikbud
dihadapan ribuan guru se-Tangerang Selatan dalam Seminar Nasional Strategi Pemerintah
Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan di Universitas Terbuka, Tangerang
Selatan.
Para pendiri bangsa seperti Soekarno dan Moehamad
Hatta, lanjut Nuh, mempunyai kemampuan menguasai bahasa asing yang mumpuni.
"Tapi jangan ragukan nasionalisme
mereka, semua tergantung komitmen mereka akan negara," tambah dia.
Pada kurikulum 2013, kata Nuh, memang tidak
ada pelajaran Bahasa Inggris untuk sekolah dasar (sd). Namun diperbolehkan
untuk mengajarkan pelajaran Bahasa Inggris untuk sekolah tertentu.
"Begitu juga dengan bahasa daerah, tetap
diajarkan".
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
uji materi terhadap pasal 50 ayat 3 Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai RSBI pada Selasa (8/1). Dampak dari
keputusan tersebut, RSBI dihilangkan dari sistem pendidikan.
Putusan itu dikeluarkan setelah menimbang
bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada.
Alasannya
adalah biaya yang mahal yang mengakibatkan diskriminasi pendidikan, menimbulkan
kastanisasi pendidikan, dan penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar juga
dianggap dapat mengikis jati diri bangsa.
Antara.com | Sabtu, 12
Januari 2013 |
No comments:
Post a Comment