Monday 21 January 2013

RSBI, Riwayatmu Kini


*****
MK Bubarkan Status RSBI dan SBI
Mahkamah Konstitusi (MK) resmi membubarkan status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Pengabulan gugatan tentang status RSBI dan SBI mengharuskan pemerintah untuk segera mencabut status-status tersebut dari sekolah-sekolah yang sudah mengenakannya. Segala mekanisme dan pembiayaan terkait RSBI juga harus dibatalkan.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, mengatakan, RSBI yang sudah ada kembali menjadi sekolah biasa. Segala bentuk biaya tambahan terkait RSBI juga harus dibatalkan.
“RSBI yang sudah ada kembali menjadi sekolah biasa. Pungutan yang sebelumnya ada di SBI juga harus dibatalkan,” tuturnya saat berbincang di ruang pers MK, Jakarta, Selasa (8/1).
Keberadaan status RSBI dan SBI, lanjutnya, dan pembiayaan yang mahal merupakan bentuk ketidakadilan terhadap hak untuk memperoleh pendidikan yang setara. Menurut Akil, ini bertentangan dengan konstitusi.
“Hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI dan SBI yang merupakan sekolah kaya atau elit. Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum (sekolah miskin),” kata Akil.
Karena itu, MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dengan dikabulkannya uji materi tersebut, RSBI dan SBI resmi dibubarkan oleh MK.
Dalam pembacaan amar putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Alasan MK Batalkan Status RSBI/ SBI
Juru Bicara mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar mengungkapkan alasan MK mengabulkan gugatan terhadap status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI), karena status-status tersebut memunculkan diskriminasi dalam pendidikan dan membuat sekat antara lembaga pendidikan.
“Penggolongan kasta dalam sekolah seperti SBI, RSBI dan Sekolah Reguler itu bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi,” kata Akil.
Akil menambahkan, RSBI yang sudah ada kembali menjadi sekolah biasa. Pungutan karena sistem RSBI, lanjutnya, juga harus dibatalkan. Pasalnya, pungutnan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan terhadap hak untuk memperoleh pendidikan yang setara.
Selain faktor biaya mahal, penekanan bahasa Inggris bagi siswa di sekolah RSBI atau SBI dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928. Sumpah pemuda tersebut dalam salah satu ikrarnya menyatakan “menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.” Sebab itu, lanjut Akil, seluruh sekolah di Indonesia seharusnya menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.
“Adanya aturan bahwa bahasa Indonesia hanya dipergunakan sebagai bahasa pengantar untuk di beberapa mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal di RSBI/SBI, maka sesungguhnya keberadaan RSBI atau SBI secara sengaja mengabaikan peranan bahasa Indonesia dan bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia,” jelas Akil Mochtar.
KOMPAS.com | Selasa, 8 Januari 2013 |
*****
FGII: RSBI Lunturkan Semangat Kebangsaan
Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa sekolah berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) bertentangan dengan undang-undang, dan dinilai keberadaannya melunturkan semangat kebangsaan.
“Sebagai salah satu organisasi profesi guru yang ikut mengajukan gugatan, FGII menyambut baik dan memberikan apresiasi tinggi terhadap keputusan MK pada 8 Januari 2013 itu,” kata Ketua Umum FGII Gino Vanollie, dan Sekretaris Jenderal FGII Iwan Hermawan melalui siaran persnya, Kamis (10/1).
MK mengabulkan gugatan terhadap pasal 50 ayat 3 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan menyatakan bahwa RSBI bertentangan dengan konstitusi karena RSBI menyebabkan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
Sedangkan konstitusi mengamanatkan agar setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama, tanpa diskriminasi.
“Meskipun ada kuota 20 persen untuk peserta didik dari kalangan tidak mampu, tetapi dalam kenyataannya hal ini tidak menghilangkan diskriminasi,” katanya.
Selain perbedaan latar belakang sosial-ekonomi, tidak tertutup kemungkinan secara psikologis, peserta didik yang berasal dari kalangan tidak mampu juga minder, kurang percaya diri ketika bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari kalangan the have.
Selain itu, penggunaan bahasa Inggris (bilingual) pada pembelajaran juga dinilai kurang efektif dan telah melunturkan semangat kebangsaan serta jati diri bangsa di kalangan generasi muda.
“Bahwa pada awalnya pemerintah berniat baik dengan menyelenggarakan RSBI, yaitu untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat perlu lembaga pendidikan yang berstandar internasional,” ujarnya lagi.
Tetapi dalam kenyataannya, RSBI justru menjadi eksklusif, terjadi kastanisasi dan diskriminasi. RSBI hanya bisa diakses oleh kalangan orang kaya, sementara kalangan kurang mampu meskipun secara aturan diberikan kuota, tetapi relatif kurang terakomodir.
Bagi sebagian pihak, RSBI hanya menjadi cerminan komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Selain menerima BOS, RSBI juga diperbolehkan untuk memungut biaya dari orang tua siswa. Oleh karena itu, dirasa memberatkan sehingga dituntut untuk dihapus.
Ada beberapa alasan FGII ikut menggugat terhadap status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI).
Pertama, demikian Gino dan Iwan, status tersebut memunculkan diskriminasi dalam pendidikan dan membuat sekat antara lembaga pendidikan.
Penggolongan kasta dalam sekolah seperti  RSBI dan sekolah reguler itu bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, pungutan sistem RSBI juga harus dibatalkan mengingat pungutan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan terhadap hak untuk memperoleh pendidikan yang setara.
“Hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI atau SBI yang merupakan sekolah kaya atau elit,” ujar dia.
Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum (sekolah miskin).
Ketiga, penekanan bahasa Inggris bagi siswa di sekolah RSBI atau SBI dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928.
Sumpah pemuda tersebut dalam salah satu ikrarnya menyatakan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Sebab itu, seluruh sekolah di Indonesia seharusnya menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.
Adanya aturan bahwa bahasa Indonesia hanya dipergunakan sebagai pengantar untuk di beberapa mata pelajaran di RSBI/SBI, maka sesungguhnya keberadaan RSBI atau SBI secara sengaja mengabaikan peranan bahasa Indonesia dan bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
“Oleh karena itu, FGII menyambut baik kepusan MK mengenai penghapusan RSBI,” demikian Gino dan Iwan.
Antara.com | Jumat, 11 Januari 2013 | LAMPUNG EKSPRES plus | Sabtu, 12-11-2013 |
*****
Nasionalisme Tidak Terkait Bahasa Asing
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan nasionalisme tak ada kaitannya dengan penggunaan bahasa asing dalam pergaulan sehari-hari.
"Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan RSBI adalah penggunaan bahasa asing. Padahal, kalau menurut saya tidak ada kaitannya dengan nasionalisme," Mendikbud dihadapan ribuan guru se-Tangerang Selatan dalam Seminar Nasional Strategi Pemerintah Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan di Universitas Terbuka, Tangerang Selatan.
Para pendiri bangsa seperti Soekarno dan Moehamad Hatta, lanjut Nuh, mempunyai kemampuan menguasai bahasa asing yang mumpuni.
"Tapi jangan ragukan nasionalisme mereka, semua tergantung komitmen mereka akan negara," tambah dia.
Pada kurikulum 2013, kata Nuh, memang tidak ada pelajaran Bahasa Inggris untuk sekolah dasar (sd). Namun diperbolehkan untuk mengajarkan pelajaran Bahasa Inggris untuk sekolah tertentu.
"Begitu juga dengan bahasa daerah, tetap diajarkan".
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal 50 ayat 3 Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai RSBI pada Selasa (8/1). Dampak dari keputusan tersebut, RSBI dihilangkan dari sistem pendidikan.
Putusan itu dikeluarkan setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada.
Alasannya adalah biaya yang mahal yang mengakibatkan diskriminasi pendidikan, menimbulkan kastanisasi pendidikan, dan penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa.
Antara.com | Sabtu, 12 Januari 2013 |

No comments:

Post a Comment