Banyak
orang tua turut cemas dengan adanya rencana perombakan kurikulum pada 2013.
Pasalnya perubahan pada tingkat
pendidikan menengah tidak signifikan pada pendidikan dasar, kemungkinan
perubahan mekanisme pelaksanaan ujian nasional (UN) menuai kontroversi.
Salah satu orang tua siswa SMK Negeri 48
Jakarta, Oki Arvani (50) mengaku, tidak setuju dengan rencana UN yang dilakukan
pada kelas XI Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK). Dikhawatir anak-anak belum siap untuk menjalankan metode seperti itu
sehingga sosialisasi harus gencar.
"Janganlah kalau UN dimajuin. Takutnya
banyak yang belum siap. Tapi kalau pemerintah tetap mau melakukan, ya artinya
anak kelas XI yang ada nanti mau nggak mau jadi bahan percobaan," kata
Oki, di Jakarta, Senin (10/12/).
Tidak hanya itu, ia juga meminta pada
pemerintah agar mengkaji kembali rencana perubahan spektrum keahlian di tingkat
SMK yang memungkinkan adanya pengurangan bidang keahlian yang sudah berkurang
peminatnya. Menurutnya, pengurangan bidang keahlian ini juga akan berpengaruh
pada minimnya generasi yang ahli di bidang tersebut.
"Kurang diminati bukan berarti nggak ada
yang minat. Jadi tetap dibuka, biar keahlian dari jurusan itu nggak mati atau
hilang gitu aja," ujar Oki.
Sementara itu, Mara Siregar (46) yang
merupakan ayah dari seorang siswi SMA Negeri 1 Medan, mengatakan bahwa
perubahan kurikulum yang menghilangkan sistem penjurusan dinilai tepat.
Pasalnya, dengan adanya penjurusan pada tingkat sekolah menengah ini telah
membatasi minat anak.
"Anak-anak SMA ini kadang belum tahu
minatnya dimana. Penjurusan ambil IPA. Saat mau masuk kuliah, minatnya hukum
misalnya. Berarti dia harus belajar ulang lagi tentang IPS yang hampir sudah
tidak dipelajarinya lagi," ungkap Mara.
Namun mengenai usulan kebijakan UN yang
dimajukan pada kelas XI, Mara tidak sepenuhnya setuju mengingat kesulitan yang
akan dihadapi anak-anak akan semakin besar. Ia juga khawatir tingkat stres pada
anak-anak akan meningkat jika dipaksakan menghadapi UN pada tahun kedua di
sekolah menengah.
"Tujuannya
baik agar ada persiapan sebelum universitas. Tapi secara psikologis, anak-anak
ini takutnya tidak siap dan malah muncul masalah baru," ujarnya.
Antara.com | Senin, 10
Desember 2012 |
UN Tidak Cocok Alat Evaluasi Kurikulum
Meski muncul banyak kritikan terhadap
kurikulum baru yang akan diterapkan pada pertengahan tahun 2013 mendatang,
pendekatan berbasis tematik integratif yang ditawarkan tetap diapresiasi.
Namun, dengan pola pendekatan pendidikan semacam ini, bentuk evaluasi kepada
siswa semestinya juga tidak lagi ketat.
Praktisi pendidikan dari Universitas
Paramadina, Abduh Zein, mengatakan bahwa metode tematik integratif ini membuka
peluang guru dan siswa untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang tema
bahasannya. Anak-anak juga bebas mengobservasi dan mencari tahu sendiri jawaban
dari permasalahan yang dihadapi.
"Metode seperti ini tanpa batasan dan
dinamis sehingga akan jadi persoalan jika ujian nasional (UN) masih dijadikan
alat evaluasi," kata Zein saat Focus
Group Discussion Menyoal Kurikulum 2013 di Gedung Dakwah Muhammadiyah,
Jakarta.
Ia mengungkapkan bahwa jika tetap dipaksakan
mengevaluasi siswa dengan sistem UN, konsep kurikulum yang digagas saat ini
hanya akan sia-sia. Pasalnya, guru tak akan bisa dengan bebas mengembangkan
tema bahasan karena ada koridor yang harus diikuti agar anak-anak bisa
mengerjakan UN dengan baik.
"UN itu sangat rigid. Kisi-kisinya ada
dan umumnya yang keluar soalnya seperti itu sehingga guru mau tidak mau ikuti
saja. Kalau begini, apa yang berubah," ujar Zein.
Untuk
itu, sejalan dengan perubahan kurikulum, UN mestinya bukan lagi menjadi pilihan
pemerintah untuk melakukan evaluasi pendidikan bagi para siswa di tiap jenjang.
Pemerintah harus mulai mempersiapkan formulasi baru untuk alat evaluasi siswa
menyesuaikan dengan metode pembelajaran pada kurikulum baru.
Antara.com | Jumat, 14
Desember 2012 |
UN
Bisa Berubah
Mendikbud
Mohammad Nuh menegaskan bahwa ujian nasional (UN) akan bisa berubah bila
Kurikulum 2013 sudah benar-benar diterapkan.
“Tahun
ini (2013), UN masih tetap, karena perubahan kurikulum masih Juni 2013,
sedangkan UN akan dilaksanakan pada April-Mei 2013,” katanya dalam Sosialisasi
Kurikulum 2013 di Bangkalan, Senin (31/12).
Mohammad
Nuh mengemukakan, proses dan output
dalam Kurikulum 2013 itu sama-sama penting.
“Karena
itu, proses dan output harus
dikombinasikan, sehingga UN ke depan akan bisa berubah, tapi perubahan itu
bukan sekarang, sebab Kurikulum 2013 masih tahap uji publik,” katanya.
Menurut
dia, perubahan Kurikulum 2013 itu tidak dilandasi kepentingan politik sama
sekali, melainkan murni dengan landasan akademik, karena itu pihaknya melakukan
uji publik Kurikulum 2013.
“Kalau
pertimbangan politik mungkin perubahan itu bisa batal, karena kami menghadapi
stigma masyarakat yang seakan-akan membenarkan bahwa ganti menteri itu ganti
kurikulum,” katanya.
Namun,
pihaknya mengambil risiko dengan mempertimbangkan kepentingan riil untuk masa
depan generasi muda yang lebih baik yakni pintar tapi benar atau benar tapi
pintar.
“Jadi,
perubahan kurikulum itu untuk menyikapi perubahan zaman yang kelak akan
mengutamakan kompetensi, namun kompetensi itu kami sinergikan dengan
nilai-nilai karakter,” katanya.
Ia
menjelaskan kompetensi masa depan itu mencakup tiga bidang yakni sikap,
ketrampilan, dan pengetahuan.
“Perubahan
sikap itu ditentukan pendidikan karakter, sedangkan perubahan ketrampilan dan
pengetahuan itu ditentukan inovasi. Cara untuk mendidik siswa yang memiliki
inovasi adalah mengembangkan kreatifitas,” katanya.
Untuk
mengembangkan kreatifitas, katanya, bisa dilakukan dengan lima tahapan yakni
observasi (pengamatan), bertanya, berpikir (nalar), eksperimen, dan
menyampaikan (presentasi tertulis atau lisan).
“Jadi,
saya tidak mempertimbangkan jabatan, tapi saya mempertimbangkan masa depan.
Saya akan mendorong kompetensi itu agar generasi muda sekarang dapat membeli
masa depan dengan ’harga’ sekarang,” katanya.
KOMPAS.com | Senin, 31 Desember 2012 |
No comments:
Post a Comment